Pilihan Sabtu, 08 April 2023 | 14:04

Penyaliban, Eksekusi Paling Brutal di Zaman Kuno

Lihat Foto Penyaliban, Eksekusi Paling Brutal di Zaman Kuno Korban penyaliban bisa menderita berhari-hari dalam penderitaan. (Foto: Getty Images)
Editor: Tigor Munte

Jumat Agung diperingati jutaan umat Kristen di seluruh dunia sebagai peristiwa wafatnya Yesus Kristus setelah disalibkan. 

Di zaman kuno, penyaliban adalah salah satu dari tiga cara paling brutal untuk mengeksekusi seseorang. 

Hal ini sebagaimana dijelaskan Louise Cilliers, seorang penulis dan peneliti budaya klasik dari University of the Free State di Afrika Selatan.

Setelah penyaliban, ada pembakaran dan pemenggalan. 

"Dari tiga cara paling brutal untuk mengeksekusi seseorang di zaman kuno, penyaliban dianggap yang terburuk," kata dia, dilansir dari BBC.com, Sabtu, 8 April 2023.

Pendapat mirip disampaikan Diego Perez Gondar, profesor dari Fakultas Teologi Universitas Navarra di Spanyol.

Disebutnya, penyaliban adalah kombinasi absolut dari kekejaman dan tontonan untuk menanamkan teror sebanyak mungkin pada penduduk di masanya.

Kematian para korban penyaliban, terjadi beberapa hari setelah disalibkan, di depan mata setiap orang yang lewat.

Tubuh mereka mengalami kombinasi dari kekurangan nafas, kehilangan darah, dehidrasi, dan kegagalan pada berbagai organ, serta masalah lainnya.

Dr Cilliers memperkirakan, penyaliban sudah berlangsung 500 tahun sebelum Kristus disalibkan.

Diperkirakan berasal dari bangsa Asyur dan Babilonia, dua peradaban besar yang pernah mendiami wilayah yang sekarang dikenal sebagai Timur Tengah. 

Dr Cilliers juga percaya metode eksekusi itu "digunakan secara sistematis oleh bangsa Persia pada abad keenam SM."

Prof Perez menunjukkan bahwa informasi tertua yang tersedia berasal dari berbagai dekorasi di Istana Assyria, terletak di kawasan Mesopotamia Asia Barat.

Ungkapnya, di dinding ada lukisan yang menggambarkan pertempuran dan penaklukan dan cara para tahanan dieksekusi. 

"Teknik penyulaan (teknik penyiksaan dan hukuman mati) muncul, sesuatu yang mirip dengan penyaliban," katanya.

Pada tahun 2003, Dr Cilliers ikut menulis artikel tentang sejarah dan patologi penyaliban, diterbitkan di South African Medical Journal.

Dia menjelaskan bahwa bangsa Persia melakukan penyaliban di pohon atau tiang, bukan salib.

Menggabungkan hukuman mati dengan cemoohan terhadap terpidana dan kematian yang kejam sering terjadi. 

"Salah satu tekniknya adalah dengan membiarkan mereka tergantung di pohon sehingga mati kekurangan nafas dan kelelahan," imbuh Prof Perez.

Pada abad keempat SM, Alexander Agung membawa metode hukuman ini ke negara-negara Mediterania timur.

Menurut Dr Cilliers, Alexander dan pasukannya mengepung Kota Tirus, di Lebanon saat ini, yang kurang lebih tidak dapat direbut.

"Ketika mereka akhirnya masuk, mereka menyalib sekitar 2.000 penduduk," bebernya.

Penerus Alexander Agung memperkenalkan hukuman ini ke Mesir dan Suriah, serta Kartago (Carthage), kota kuno yang besar di Afrika Utara yang didirikan oleh orang Fenisia (Phoenicia).

Selama Perang Punik (Punic) dari 264-146 SM, bangsa Romawi mempelajari teknik tersebut dan "menyempurnakannya selama 500 tahun".

"Legiun Romawi mempraktikkan penyaliban ke mana pun mereka pergi," kata Cilliers.

Dan di beberapa tempat, di mana mereka menerapkan bentuk hukuman mati ini, para penduduk setempat menerimanya.

Pada tahun sembilan Masehi, Jenderal Jerman Arminius memerintahkan penyaliban tentara Romawi setelah kemenangannya di Pertempuran Hutan Teutoburg, yang merupakan kekalahan memalukan bagi orang Romawi di tangan suku Jermanik.

Kemudian pada tahun 60 Masehi, Boudicca, ratu suku Inggris kuno yang dikenal sebagai Iceni, memimpin pemberontakan besar-besaran melawan penjajah Romawi dan menyalibkan sejumlah legiuner mereka.

Israel Kuno

Di Israel kuno, jenis hukuman ini sudah digunakan sebelum kedatangan bangsa Romawi.

"Kami memiliki sumber yang berbicara tentang penyaliban sebelum penaklukan Romawi atas Tanah Suci," kata Prof Perez.

Salah satunya adalah sejarawan, politisi, dan tentara Romawi-Yahudi Flavius Josephus, yang lahir di Yerusalem pada abad pertama Masehi.

Dalam catatannya tentang pemerintahan Alexander Jannaeus (125SM-76SM), yang memerintah atas bangsa Yahudi selama 27 tahun, dia menyebutkan tentang penyaliban massal sekitar tahun 88SM.

"Ketika dia merayakan dengan selirnya di tempat yang mencolok, dia memerintahkan penyaliban atas sekitar 800 orang Yahudi, serta pembunuhan anak dan istri mereka di depan mata orang-orang malang yang masih hidup," tulis Flavius Josephus.

Namun menurut Dr Cilliers, bangsa Romawi adalah orang-orang yang memasukkan berbagai jenis bentuk salib ke dalam bentuk hukuman ini - termasuk yang berbentuk X.

BACAJUGA:

Sejarawan Romawi-Yahudi Flavius Josephus menulis tentang penyaliban massal atas perintah Raja Yahudi Alexander Jannaeus sekitar tahun 88 SM.

"Namun, dalam banyak kasus mereka menggunakan salib Latin yang terkenal atau Tau (salib berbentuk T). Salib ini bisa tinggi, tetapi yang rendah yang lebih umum. Mereka terdiri dari tiang tegak (stipes dalam bahasa Latin) dan yang melintang (patibulum)."

Orang yang dieksekusi dipaksa untuk membawa balok horizontal dari salib ke tempat eksekusi.

"Jika orang itu tidak telanjang, pakaian mereka dilepas dan mereka disuruh berbaring telentang dengan tangan terulur di sepanjang patibulum."

Menyakitkan

Lengan mereka kemudian diikat ke balok horizontal, dan ada juga yang pergelangan tangannya dipatok dengan paku ke balok itu.

Paku biasanya tidak ditambatkan di telapak tangan korban karena dapat merobek dan membuat terjatuh akibat tekanan berat badan. Paku dihujam ke tulang di pergelangan tangan dan lengan bawah sehingga dapat menahan tubuh pada tempatnya.

Paku bisa berukuran panjang hingga 18 sentimeter dan tebal satu sentimeter.

Ketika terhukum ditempelkan ke balok horizontal, dia diangkat dan dipasang ke tiang vertikal, yang sudah tertanam di tanah.

Kaki mereka lalu diikat atau dipaku pada tiang vertikal, baik itu di masing-masing kaki atau keduanya sekaligus, di mana satu kaki berada di atas yang lain.

Dalam hal itu, penulis menjelaskan, satu paku ditancapkan melalui tulang metatarsal (bagian yang menghubungkan pergelangan ke jari-jari kaki) di keduanya, sementara lutut ditekuk.

Rasa sakitnya tak terbayangkan.

Korban penyaliban bisa menderita berhari-hari dalam penderitaan.

"Banyak saraf akan terpengaruh," kata Profesor Perez. "Anda harus memaksa kaki untuk duduk tegak dan bernapas," tambahnya.

Saat melakukannya, "akan ada banyak darah yang keluar, rasa sakit yang luar biasa, tetapi jika tidak, Anda mati lemas."

Dalam banyak kasus, penyaliban adalah proses kematian yang lambat, yang terjadi setelah kegagalan fungsi banyak organ.

Cilliers menjelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh kolapsnya sirkulasi akibat syok hipovolemik - korban mengalami penurunan volume darah (hipovolemia) akibat kehilangan darah traumatis dan dehidrasi, tetapi mungkin terutama karena gagal napas.

Banyak yang meninggal karena lemas dan kurang nafas.

Kekejaman eksekusi ini diperparah oleh fakta bahwa banyak orang yang disalibkan membutuhkan waktu berhari-hari untuk mati, meski mereka juga bisa meninggal dalam hitungan beberapa jam - dalam Alkitab, Yesus dikatakan bertahan selama enam jam.

"Dalam beberapa kasus, apa yang dilakukan tentara untuk mempercepat kematian adalah memukul lutut orang dan mematahkan kaki mereka. Dengan cara ini, terpidana tidak dapat mengangkat diri untuk bernapas menggunakan otot kaki mereka, yang membuat mereka mati lebih cepat," kata Prof Perez.

Menurut catatan Alkitab, tentara Romawi menggunakan cara ini kepada dua penjahat yang disalibkan di samping Yesus.

Penyaliban adalah hukuman yang dilakukan orang Romawi terutama untuk budak dan orang asing.

"Yesus sudah dipukuli dengan cambukan, semacam alat pecut dengan potongan logam dan tulang tajam (di ujungnya). Dia telah kehilangan banyak darah. Bahkan, ada orang yang mati hanya karena cambukan," tambah sang akademisi.

Metode penyaliban bertujuan untuk "mengekspos dan mempermalukan" orang yang dihukum, kata Prof Perez.

"Itu adalah kematian yang diperuntukkan bagi musuh terburuk untuk memperjelas bahwa orang Romawi tidak ingin melihat siapa pun melakukan kejahatan yang sama."

Penyaliban sebagian besar diterapkan pada budak dan orang asing, dan sangat jarang pada warga Romawi itu sendiri.

"Penyaliban dalam banyak kasus dikaitkan dengan pengkhianatan, pemberontakan militer, terorisme, dan beberapa kejahatan yang menyebabkan pertumpahan darah."

Constantine I, yang menjadi kaisar Romawi pertama yang menjadi seorang Kristen, menghapuskan penyaliban pada abad ke-4

Karena alasan itu, Perez mengatakan sangat penting bagi Romawi untuk menyalibkan Yesus.

"Tapi juga mengejutkan bahwa mereka menganggapnya sebagai seseorang yang berbahaya."

"Dan bagi mereka yang tidak ingin dunia berubah, tidak hanya mencoba untuk mengakhiri hidup Yesus, tetapi dengan penyaliban, mereka ingin menegaskan bahwa (pesannya) tidak boleh dilanjutkan."

Penghapusan praktik penyaliban

Kaisar Romawi Constantine I menghapuskan penyaliban pada abad keempat Masehi, dan menjadi kaisar Romawi pertama yang memeluk agama Kristen.

Dia melegalkan agama dan para pengikutnya memperoleh hak istimewa yang hilang dari agama tradisional, yang mengarah ke Kristenisasi Kekaisaran Romawi.

Namun dalam perkembangannya, hukuman itu masih diterapkan di tempat lain. Pada tahun 1597, di Jepang, 26 misionaris disalibkan, memulai periode panjang penganiayaan terhadap orang Kristen di negara itu.

Namun, terlepas dari masa lalunya yang kejam, bagi orang Kristen salib melambangkan simbol pengorbanan atas nama cinta.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya