News Kamis, 14 Juli 2022 | 15:07

Reseller Jasa Internet Harus Perhatikan Aspek Hukum Ini

Lihat Foto Reseller Jasa Internet Harus Perhatikan Aspek Hukum Ini Ilustrasi WiFi. (Foto: Dok. Pixabay)

Jakarta - Layanan akses internet dapat dijual kembali melalui perjanjian kerja sama, namun ada aspek hukum yang harus diperhatikan.

Demikian disampaikan analis kebijakan ahli muda Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen PPI Kemkominfo) Febran Suryawan dalam keterangan pers APJII, Kamis, 14 Juli 2022.

"Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi," kata Febran seperti mengutip ANTARA, Kamis, 14 Juli 2022.

Dalam Permenkominfo tersebut, perusahaan reseller dapat menggunakan merek dagang jasa telekomunikasi yang dijual kembali dan dapat menambahkan merek dagang perusahaan reseller kepada pelanggan.

Reseller juga harus memenuhi ketentuan standar kualitas pelayanan Jasa Telekomunikasi yang setara dengan komitmen penyelenggara sebelumnya.

"Seluruh pendapatan dari pelaksanaan Jual Kembali (reseller) Jasa Telekomunikasi menjadi pendapatan dari dan dibukukan oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dan penagihan (billing) mencantumkan merek dagang Penyelenggara Jasa Telekomunikasi," kata Febran.

Sementara itu, pakar hukum dari firma hukum Rumah Hukum Noviana Monalisa mengatakan, reseller dan para penyedia jasa internet (ISP) juga harus memperhatikan dampak hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat.

"KPPU sudah memberikan ancaman untuk mereka yang bersaing tidak sehat, di antaranya pembatalan perjanjian tertutup," tutur Noviana.

Dia mengatakan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat mengenakan sanksi administrasi termasuk pembatalan perjanjian tertutup (perjanjian jual kembali layanan akses internet), penghentian kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan membayar ganti rugi atau denda.

Ada juga pasal pidana denda serendah-rendahnya Rp 5 miliar rupiah dan setinggi-tingginya Rp 25 miliar, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya lima bulan.

Para pihak juga harus mematuhi ketentuan di UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yakni Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud, hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.

Selain Noviana, Ketua Pengurus Wilayah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) DKI Jakarta Tedi Supardi Muslih mengatakan anggota APJII wajib menaati peraturan perundang-undangan beserta turunannya.

"Kita menginginkan agar tidak terjadi multi-tafsir dalam memahami peraturan. Harus satu persepsi, bukan hanya untuk pelaku bisnis dan pembuat kebijakan, dalam hal ini Kemkominfo saja, tapi juga kementerian/lembaga terkait dan penegak hukum," ucap Tedi.

Dengan semakin banyak anggota APJII memahami aspek hukum terkait reseller, diharapkan dapat terjadi sinergi antara pelaku usaha, regulator, maupun aparat penegak hukum, kata Tedi dalam Forum Regulasi untuk penyelenggara dan reseller Internet Indonesia tersebut.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya