Pilihan Jum'at, 12 September 2025 | 21:09

RUU Perampasan Aset: DPR Setengah Hati atau Berhati-hati?

Lihat Foto RUU Perampasan Aset: DPR Setengah Hati atau Berhati-hati? Jumady Sinaga. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Ditulis: Jumady Sinaga

Salah satu keputusan DPR RI yang dinanti-nantikan oleh masyarakat Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP). Banyak pihak menilai, RUU ini adalah salah satu instrumen penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

RUU PATP diharapkan bisa mengembalikan kerugian negara yang telah dijarah, membuat efek jera pada koruptor serta memiskinkannya.

Apabila disahkannya RUU ini, aparat penegak hukum dapat menyita aset dan harta koruptor dan penyelenggara negara. Tentunya harta tidak wajar yang secara asal-usulnya tidak dapat dibuktikan dengan pendapatan sahnya (illicit enrichment).

Namun realita yang terjadi, bertahun-tahun RUU ini ditidurkan dan tidak diurus sama sekali bak tak punya tuan di Senayan. Beragam pertanyaan muncul di tengah masyarakat, kapan DPR mengesahkannya dan kapan negara ini jauh dari para koruptor?.

Sejak tahun 2008 atau hampir dua dekade, naskah RUU PATP sudah disusun. Pada tahun 2012 pun, pemerintah mengusulkannnya ke DPR.

Selanjutnya pada tahun 2020, Pemerintah dan DPR sempat menemukan titik terang. Saat itu Presiden Jokowi melalui Menkopolhukam Mahfud MD mengajukan ke Parlemen dua Undang-undang sekaligus, yaitu RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.

Kemudian pada pertengahan 2023, Presiden Jokowi melayangkan lagi surpres ke DPR RI. Bahkan pengakuan Jokowi, dirinya sudah melayangkan surpres tentang RUU PATP sebanyak tiga kali.

Pertanyaan yang timbul kembali, kenapa DPR enggan untuk mengesahkannya?. Patut diduga bahwa RUU ini juga akan menyasar para pejabat publik, termasuk anggota dewan itu sendiri. Terlebih jika profil kekayaan, pendapatan dan LHKPN yang disampaikan ke KPK tidak sama.

Belum adanya kemajuan dalam pembahasan RUU PATP dapat diindikasikan oleh kurangnya kesepakatan di antara fraksi-fraksi di DPR. Biasanya kesepakatan itu atas perintah ketua-ketua partai.

Dalam RDPU dengan Komisi III DPR RI, Mahfud MD meminta tolong kepada Bambang Pacul yang saat itu menjadi Ketua Komisi Hukum DPR RI untuk mendukung RUU PATP, pada 29 Maret 2023 lalu.

“Pak Mahfud tanya kepada kita, ‘tolong dong RUU Perampasan Aset dijalanin’. Republik di sini nih gampang Pak di Senayan ini. Lobby-nya jangan di sini Pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing (alias ketua-ketua partai),” demikian jawaban Bambang Pacul.

Jawaban Bambang Pacul menyimpulkan bahwa yang mengatur pengesahan RUU ini ada di tangan "bos" atau para "ketua umum partai" masing-masing. Bahkan lelucon ini disambut tawa oleh para anggota dewan lainnya yang hadir pada saat RDPU tersebut.

Pertanyaan muncul lagi, apakah DPR dalam pembahasan RUU ini setengah hati atau sedang berhati-hati?. Setengah hati supaya hartanya tidak disita, atau berhati-hati supaya hartanya tidak tersita. []

Jumady Sinaga adalah Wakil Sekretaris Umum DPP GAMKI.

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya