News Senin, 10 Oktober 2022 | 20:10

Sekjen PDIP Hasto: Pemilihan Legislatif Sebaiknya Proporsional Tertutup

Lihat Foto Sekjen PDIP Hasto: Pemilihan Legislatif Sebaiknya Proporsional Tertutup Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: Dok UGM)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Wacana pemilihan legislatif dilakukan dengan proporsional tertutup kembali didengungkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Menurut dia, sebelum pandemi PDIP semula berniat mengusulkan perubahan UUD 1945 secara sebagian.

Hal itu dilakukan untuk merombak sistem demokrasi pemilihan langsung, yang tidak sesuai dengan akar budaya Indonesia sebagai negara Pancasila. 

Hasto mengatakan itu saat dirinya menjadi narasumber dalam diskusi Election Corner bertajuk, Mengembalikan Politik Programatik di Pemilu 2024, di ruang Auditorium Fisipol UGM, Senin, 10 Oktober 2022.

“Sistem pemilu yang liberal ini harus kita ubah sesuai dengan kultur dan ideologi kita, ideologi Pancasila,” kata Hasto.

Menurutnya, sistem demokrasi pemilihan langsung menjadikan partai politik hanya mengejar raihan suara atau elektoral.

Caranya dengan menggandeng tokoh atau figur populer di masyarakat tetapi tidak melakukan kaderisasi di partainya sendiri. 

“Ciri partai elektoral bukan (kaderisasi) dari dalam, tapi merekrut orang populer meskipun itu ada unsur nepotisme,” katanya dilansir dari laman UGM, ugm.ac.id.

Kata dia, ongkos politik yang dikeluarkan oleh setiap calon legislatif dan calon kepala daerah cukup besar. 

Baca juga:

Usung Anies Upaya Bargaining Politik ke PDIP dan Jokowi, NasDem Pengin Jatah Lebih?

"Untuk menekan ongkos politik yang mahal itu sebaiknya diubah dalam bentuk pemilihan anggota legislatif proporsional tertutup," katanya.

Sedangkan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dipilih secara langsung. Lalu, kepala daerah dipilih oleh DPRD. 

“Gubernur itu seharusnya kepanjangan dari pemerintah pusat dan Gubernur dipilih oleh DPRD. Lalu, ada Pilkada asimetris. Partai politik menyiapkan masing-masing calon pemimpinnya,” ujarnya.

Kata dia, dampak yang ditimbulkan dari besarnya ongkos politik pada setiap pilkada menjadikan calon kepala daerah terbebani sehingga menggandeng sponsor atau investor politik. 

“Sekarang calon kepada daerah tanpa sponsor dan investor politik nggak bisa jadi, kecuali memiliki partai politik yang memiliki kekuatan untuk memenangkan dirinya,” katanya.

Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Kholid mengatakan, Indonesia saat ini terjebak pada konsep demokrasi prosedural.

Penyelenggaraan pilkada mencapai angka 500-an setiap periodenya. Belum lagi pemilihan gubernur dan pemilihan anggota legislatif dan Pilpres. 

Kholid menyebut, semangat pemilihan (langsung) sungguh luar biasa. Sayangnya, terjebak demokrasi prosedural tapi lupa substansial. 

"Bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita, Human Development Index, kebebasan dan good governance mengalami kemunduran. Agenda besar kita ke depan adalah mengambil titik keseimbangan ini,” ujarnya.

Kholid juga mengkritisi calon pemimpin bila ingin maju pemilihan menggunakan survei sebagai metodologi penelitian berbasis ilmu pengetahuan. 

Sayangnya, ketika terpilih dan menjabat mereka tidak menggunakan pengetahuan untuk mensejahterakan rakyatnya. 

Anggota DPR RI dari Partai NasDem Willy Aditya menyoroti, banyak kepala daerah dan anggota legislatif dari pengusaha. 

Kampus kata dia, harus ikut andil. 

"Kenapa politik kita kering? Karena para ideolognya entah kemana. Para pemikir tidak mau terjun ke dunia praktis. Kampus tetap di menara gading dan dunia politik semakin banal,” katanya. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya