*Oleh: Pdt Penrad Siagian, Anggota DPD RI Terpilih Periode 2024-2029
Lama wacana tentang masyarakat adat bermakna diskriminatif dan peyoratif di ruang-ruang publik dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Problematika yang mengitari tema tentang masyarakat adat adalah diskursus yang sangat kompleks.
Kompleksitas tersebut memasuki beragam ruang dan wacana yang telah berkelindan sedemikian rupa, mulai dari dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, hingga agama.
Dalam konteks bernegara, pasca kolonial, berbagai regulasi terkait masyarakat adat berada dalam pemaksaan nilai-nilai (imposition of values).
Pemaksaan ini mencakup persoalan mulai dari perihal kepercayaan di mana masyarakat adat diharuskan beragama sesuai dengan agama yang diakui negara; kelembagaan adat dan otoritas hukumnya yang mengalami pelemahan melalui penyeragaman pemerintahan desa; ritual adat dan hasil seninya yang sekadar menjadi pelengkap pariwisata; hingga ke persoalan ruang hidup seperti hutan yang direduksi semata sebagai sumber daya dan alat produksi.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia ditemukan beragam istilah untuk menyebut masyarakat adat. Istilah-istilah tersebut mulai dari komunitas adat terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, maupun masyarakat tradisional.
Perbedaan istilah itu menunjukkan belum adanya suatu pemahaman tentang apa dan siapa itu masyarakat adat dan sekaligus menunjukkan perbedaan-perbedaan pendekatan yang digunakan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan masyarakat adat.
Pengakuan bersyarat oleh Negara sebagaimana terlihat dalam berbagai produk regulasi yang ada juga menjadi hambatan bagi penerapan self-determination yang merupakan salah satu tema pokok dalam diskusi dan gerakan masyarakat adat secara umum.
Pengakuan bersyarat itu berimplikasi bahwa keberadaan masyarakat hukum adat tidak ditentukan melalui self-determination atau self-identification, melainkan ditentukan keberadaannya oleh negara, tentu saja melalui pemerintah, apabila syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi.
Pengakuan bersyarat itu memiliki paradigma subjek-sentris, paternalistik, asimetris, dan monologal, seperti: "Negara mengakui", "Negara menghormati", “sepanjang …" yang mengandaikan peranan besar negara untuk mendefinisikan, mengakui, mengesahkan, melegitimasi eksistensi, sepanjang masyarakat adat mau ditaklukkan di bawah regulasi negara atau dengan kata lain "dijinakkan".
Paradigma seperti ini tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan otonomi yang ada dalam demokrasi.
Konsekuensi yang diskriminatif atas keberadaan masyarakat adat seperti di atas akhirnya berimbas pada kepemilikan ha-hak ulayat masyarakat adat. Berhadapan dengan agenda-agenda pembangunan yang datang dari luar aspirasinya, apakah itu dari pemerintah maupun kepentingan korporasi.
Tak jarang pula agenda pembangunan itu bersifat determinan, sehingga memaksa masyarakat adat melepaskan tanah leluhurnya, bahkan sering terjadi kriminalisasi atas masyarakat adat.
Mereka kemudian, terusir, ditangkap, rumahnya dibakar dan tak jarang pula harus mendekam dalam penjara karena mempertahankan kehidupan dan tradisi yang mereka warisi dari leluhurnya.
Untuk itu berbagai hal tentang konsepsi dan pemaknaan akan keberadaan masyarakat adat sepatutnya mendapatkan pelurusan kembali sebagai subjek identitas yang memiliki hak yang setara dengan berbagai entitas dan elemen-elemen yang lainnya.
Karena itu dibutuhkan sebuah proses tidak lagi sekedar rekognisi atau pengakuan tapi reclaiming atas identitasnya sebagai subjek dalam ruang-ruang publik dan ke-Indonesiaan, sehingga masyarakat adat bersama-sama dengan entitas-entitas lain menjadi subjek-subjek identitas yang setara.
Untuk itu perlu segera mengesahkan RUU Masyarakat adat sebagai sebuah bentuk pengakuan sekaligus memberi jalan kesetaraan bagi masyarakat adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
#SelamatHIMAS (Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia/Jumat, 9 Agustus 2024)