Jakarta - Anggota DPD RI Terpilih, Pdt Penrad Siagian mengingatkan masyarakat untuk lebih jeli memilih calon kepala daerah yang akan berkontestasi pada November 2024 mendatang.
Penrad menyebut `Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Politik Menjual Bumi` berpotensi terjadi. Ia menegaskan hal itu akan sangat merugikan masyarakat di masa depan.
Bukan tanpa alasan, ia menuturkan Pilkada tidak bisa terlepas dari besaran dana ketika berkampanye.
Pendanaan dari pihak-pihak luar untuk memenangkan calon kepala daerah dapat menciptakan benturan kepentingan.
Tindak pidana korupsi demi memenuhi tuntutan usai memenangkan calon kepala daerah akan terjadi mulai dari penerbitan izin sektor pertambangan hingga obral izin sektor perkebunan dan kehutanan.
"Pengusaha yang diuntungkan karena penerbitan izin diduga mendanai kampanye politik sebagai balasannya.
Obral izin juga merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah. Dampaknya bagi masyarakat besar sekali," kata Penrad Siagian dalam keterangannya, Jumat, 2 Agustus 2024.
"Laju deforestasi semakin meningkat, kebakaran hutan terjadi setiap tahun, masyarakat adat terusir dari tanah leluhur, sumber air yang hilang, dan masih banyak lagi. Bila hal ini terus dibiarkan, kita tidak lagi punya tempat yang layak untuk tinggal," sambungnya.
Oleh sebab itu, Senator Terpilih dari Sumatra Utara (Sumut) ini mengingatkan masyarakat untuk waspada akan sosok-sosok yang nafsu kekuasaan.
"Waspadai politikus busuk dan calon-calon Kepala Daerah `Penjual Bumi` untuk nafsu berkuasanya," ujarnya.
Menelusuri berbagai sumber, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar kajian menyoal dana yang harus dikucurkan calon kepala daerah. Besaran dana yang dikucurkan setidaknya mencapai puluhan miliar rupiah.
"KPK pernah lakukan kajian 2019 lalu, untuk menjadi kepala daerah setidaknya butuh Rp 30 miliar-Rp 40 miliar. Memang besar nilai uang yang akan ditebar," ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri, Kamis, 30 Mei 2024.
Hasil kajian itu, 80 persen lebih pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan uang yang diberikan para calon.
Mengutip Pusat Edukasi Antikorupsi, Jumat, 2 Agustus 2024, Peraturan KPU menyebutkan bahwa sumber dana kampanye bukan berasal dari tindak pidana atau bersifat mengikat.
Namun pada kenyataannya, ada deal-deal politik antara penyandang dana dan calon kepala daerah.
Penelitian KPK berdasarkan survei kepada lebih dari 630 calon kepala daerah yang kalah pada Pilkada 2016-2018 menyebutkan ada perjanjian lisan dan tulisan antara pemberi dana dan calon kepala daerah.
Harapan utamanya, pemberi dana akan mendapatkan prioritas kebijakan yang akan dikeluarkan kepala daerah yang didukungnya.
Komitmen kepala daerah untuk pemberi dana inilah yang menimbulkan potensi benturan kepentingan. Di satu sisi, dia mesti mengedepankan kesejahteraan rakyat, sementara di sisi lain ada "utang budi" yang mesti dibayar.
Survei KPK tahun 2020 membuktikan adanya konflik kepentingan ini. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 47 persen penyumbang mengharapkan balasan kepada politisi.
Gayung bersambut, 65 persen calon kepala daerah menyatakan akan memenuhi harapan penyumbang jika menjabat. Sementara 52 persen calon kepala daerah menganggap lazim menempatkan pendukungnya di jabatan strategis saat menjabat.
Penelitian KPK menyebutkan beberapa harapan para penyandang dana untuk calon kepala daerah yang mereka sokong.
Di antaranya yang terbanyak adalah kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis, kemudahan akses agar donatur atau koleganya bisa menjabat di pemerintahan, kemudahan akses menyetir kebijakan atau peraturan daerah, dan mendapat prioritas bantuan langsung atau bantuan sosial dari APBD.
Pemberian dana pada Pilkada bisa disebut sebagai modal usaha untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi. Dalam hal ini berlaku sirkuit akumulasi modal dengan formulasi M-P-M (Money-Power-More Money).
More Money dalam formulasi tersebut membutuhkan power atau kekuasaan. Tanpa kekuasaan, uang yang lebih besar tidak akan bisa diperoleh. Memegang tampuk kuasa bertujuan untuk mendapatkan modal lebih banyak untuk terus berkuasa, begitu terus menjadi sebuah siklus tak berkesudahan.
Oleh sebab itu, Pdt Penrad mengimbau kesadaran semua pihak menyoal benturan kepentingan yang akan menjadi duri dalam daging bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Saya kembali menegaskan agar masyarakat jeli melihat track record para kandidat calon pada Pilkada nanti," tuturnya.
Untuk Wilayah Sumut, kata dia, pihaknya memiliki berbagai catatan terkait kandidat calon kepala daerah yang selama ini terindikasi terlibat dalam praktik mafia.
"Khususnya untuk Sumut, kami memiliki berbagai catatan tentang para kandidat yang telah masuk dalam etalase sebagai kandidat bakal calon. Dan kami tahu seberapa nama yang terindikasi selama ini terlibat dalam berbagai praktik-praktik mafia baik pertanahan, perkebunan dll," katanya.
Pengalaman panjang Pdt Penrad Siagian dalam mengadvokasi masyarakat membuka tabir beberapa kandidat cenderung berseberangan dengan masyarakat demi kepentingan pribadi kandidat tersebut.[]