Medan – Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut hukuman dua tahun penjara bagi Samsul Tarigan, terdakwa yang dituduh menguasai 80 hektar lahan PTPN II secara ilegal dan mengubahnya menjadi kawasan hiburan malam.
Di atas lahan perkebunan tersebut, Samsul membangun diskotek yang terkenal dengan nama "Titanic," kafe, kolam ikan, dan kebun sawit.
Tuntutan ini memicu sorotan publik lantaran Samsul dianggap hanya mendapat "tamparan ringan" meski kerugian negara mencapai Rp 41 miliar.
Sidang di Pengadilan Negeri Binjai, Kamis (31/10/2024), mengungkapkan bahwa Samsul tidak hanya memanfaatkan lahan perkebunan milik PTPN II untuk usaha ilegal, tetapi juga menggunakannya sebagai daya tarik komersial, menarik pendapatan besar secara tidak sah.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Samsul Tarigan berupa pidana penjara selama dua tahun," demikian tertulis dalam dakwaan jaksa yang terlihat di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Binjai.
Yang mencengangkan, meskipun sudah lama menjadi terdakwa, Samsul hingga kini belum juga ditahan. Padahal, dalam tuntutan JPU, tertulis jelas perintah agar terdakwa segera ditahan.
Beberapa kali sidang tuntutan juga sempat ditunda tanpa alasan yang jelas, sehingga memunculkan spekulasi tentang pengaruh di balik layar yang melindungi Samsul.
Keuntungan Ilegal di Atas Tanah Negara
Sebagai ketua organisasi masyarakat (ormas) di Sumatra Utara, Samsul dianggap punya pengaruh kuat yang membuatnya bisa bebas menggunakan lahan PTPN II untuk kepentingan pribadi.
Lahan tersebut, yang harusnya dikelola untuk perkebunan sawit, malah disulapnya menjadi pusat hiburan malam lengkap dengan diskotek, yang diketahui menarik keuntungan besar.
Tak hanya itu, Samsul bahkan mendapatkan pasokan listrik resmi dari PLN untuk mendukung aktivitas di atas lahan yang dikuasainya sejak 2014 itu.
Dengan segala keuntungan yang diraihnya, PTPN II justru menderita kerugian finansial. Hasil audit perusahaan menunjukkan kerugian sebesar Rp 41 miliar akibat okupasi lahan ini.
Tuntutan Hukum yang Dipertanyakan
Publik yang mengikuti kasus ini mempertanyakan ringannya tuntutan untuk Samsul, yang didakwa dengan pelanggaran berat terkait penggunaan lahan negara.
Pasal yang dikenakan padanya, yakni Pasal 55 jo Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, secara jelas melarang tindakan menduduki dan memanfaatkan lahan negara untuk kepentingan pribadi.
Kasus ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap aset negara, yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu demi keuntungan pribadi.
Samsul yang telah terbukti mengelola bisnis di atas tanah negara selama bertahun-tahun seolah lolos dari jerat hukum yang lebih keras.
Dengan penundaan sidang yang terjadi tiga kali dan tuntutan yang dinilai ringan, banyak pihak meragukan komitmen penegakan hukum yang tegas dalam kasus Samsul Tarigan ini.[]