Jakarta - Dalam pemakzulan kepala daerah saat ini, ada perbedaan mendasar dibanding masa-masa sebelumnya.
Hal itu karena dulu, kepala daerah dipilih oleh wakil rakyat atau DPRD. Kini kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan model presidensil itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai, perlu adanya lembaga yudikatif memberikan pendapat hukum dalam proses pemberhentian kepala/wakil kepala daerah.
Hal itu diungkapnya saat memberikan materi dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (MA) pada Rabu, 8 Maret 2023 di Jakarta.
Kegiatan mengusung tema “Rancangan Peraturan Mahkamah Agung Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPRD Terkait Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Oleh Mahkamah Agung”.
Menurut Saldi, hal ini sebenarnya sama seperti kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses pemakzulan presiden/wakil presiden.
MK memberikan pendapat atas dugaan DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melanggar menurut konstitusi.
Setelah diputus MK jika terbukti, maka putusan itu dibawa ke MPR untuk diputus secara politik.
Namun demikian, Saldi menyebut terhadap pemakzulan ada perbedaan antara MK dan MA.
MK telah memiliki Peraturan Mahkamah Konstitusi, namun hingga kini belum pernah memiliki pengalaman terhadap pemakzulan.
BACA JUGA: PSI Demo ke MK Bawa Karung dan Boneka, Tolak Proporsional Tertutup
"Sementara Mahkamah Agung belum memiliki Peraturan MA tetapi sudah memiliki pengalaman,” katanya dilansir dari laman MK.
Disebutnya, dalam menyelesaikan perkara pemakzulan harus digelar persidangan.
Karena ada fakta-fakta konkret yang harus diperiksa, baik DPRD maupun kepala daerah/wakil kepala daerah diberi kesempatan untuk membuktikan semua dalil dan bantahannya.
"Agar sidang pemakzulan kepala daerah itu digelar secara terbuka sebagai ikhtiar untuk mengurangi syak wasangka publik, mengingat pemakzulan merupakan perkara ketatanegaraan yang politis," katanya memberi usulan.
Sementara terkait adanya batasan 30 hari untuk menyelesaikan pemakzulan kepala/wakil kepala daerah, dia menilai, itu merupakan pilihan dari internal MA, apakah dihitung sejak diregistrasi atau sejak dimulai persidangan pertama.
Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara, Yodi Martono Wahyunadi menjelaskan, dalam pemberhentian kepala daerah MA menjalankan kewenangannya secara terbatas.
Bupati Karo periode 2011-2106, Kena Ukur Karo Jambi Surbakti yang pernah dimakzulkan DPRD setempat. (Foto: Ist)
Dia menjelaskan alur mekanisme pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah di MA yang harus selesai dalam jangka waktu 30 hari.
Permohonan pemberhentian kepala daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah dan Pemerintah Pusat.
Berikutnya ujar Yodi, permohonan tersebut diajukan oleh lembaga, sehingga perorangan anggota DPRD tidak dapat mengajukan permohonan pemberhentian kepala daerah.
Wakil Dekan FH Universitas Airlangga, Mohammad Syaiful Aries menyebut soal penerapan asas proporsionalitas antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
Dia menyoroti pemberhentian yang terjadi di Kabupaten Jember, Jawa Timur dan Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
Kasus Bupati Jember yang tidak diberikan kesempatan untuk hadir menjawab interpelasi DPRD menjadi dasar bagi MA untuk menolak permohonan DPRD.
MA dalam pertimbangannya menyatakan Bupati Jember tidak diberikan hak untuk menjawab sehingga permohonan DPRD ditolak.
Kasus pemberhentian Bupati Karo, yang tidak hadir untuk menjawab interpelasi DPRD Kabupaten Karo meski telah diberi kesempatan untuk memberikan jawaban, sehingga oleh MA permohonan pemakzulannya dikabulkan.
Dia kemudian memberikan catatan, tidak adanya ketentuan yang jelas dalam UU Pemda mengatur mekanisme pembelaan diri dalam proses pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah.
"Oleh karena itu perlu diatur dalam Peraturan MA," katanya. []