News Kamis, 23 Juni 2022 | 19:06

UU KUHAP Masih Berorientasi Proses Beracara yang Usang, Arsul Sani Usul Revisi

Lihat Foto UU KUHAP Masih Berorientasi Proses Beracara yang Usang, Arsul Sani Usul Revisi Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Foto: Jaka/Man/Parlementaria)

Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menilai Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) saat ini masih berorientasi pada proses beracara yang sudah usai.

Karena itu, meskipun RUU KUHAP maupun naskah akademiknya tersebut menjadi usul inisiatif pemerintah, semangat untuk memodernisasi sistem peradilan perdata Indonesia ini harus menjadi fokus dalam pembahasan RUU tersebut.

Hal ini disampaikan Arsul dalam RDPU Komisi III DPR RI dengan PERADI dalam rangka meminta masukan terkait RUU KUHAP, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu, 22 Juni 2022.

"Ini akan menarik bagi kita, apakah kita akan mempertahankan rezim pendekatan jadul atau memanfaatkan teknologi informasi yang juga sudah disampaikan oleh pengadilan TUN dan Pengadilan Agama itu juga sudah mulai dimanfaatkan," kata Arsul seperti dikutip, Kamis, 23 Juni 2022.

Di sisi lain, dia menilai ada beberapa hal yang mengemuka dalam RDPU tersebut yang sebenarnya tempat pembahasannya tidak dalam RUU KUHAP, tetapi dalam RUU Kelembagaan Peradilan. Salah satunya contohnya adalah terkait alasan Peninjauan Kembali.

"Apakah hanya mau dibatasi pada novum saja atau masih mengikuti yang ada seperti sekarang? itu memang nanti tempatnya di revisi UU Mahkamah Agung, saya kira bukan di RUU KUHAP," ujarnya.

Anggota Fraksi PPP DPR RI itu menilai, institusi Mahkamah Agung saat ini memiliki persoalan terkait kualitas putusan yang dihasilkannya. Disebabkan karena tiap bulan Mahkamah Agung harus memutus sampai 200 perkara.

Sehingga, menurutnya, harus ada penataan upaya hukum, yaitu sebagian ditempatkan di Hukum Acara Perdata sebagian yang lain di Hukum Acara Pidana.

"Karena memang setelah rampung pembahasan RKUHP, dan RUU Pemasyarakatan, Komisi III juga akan menggarap RUU KUHAP dan ini akan menjadi RUU inisiatif DPR," tuturnya.

Dia mengungkapkan, penataan hukum tersebut harus dilakukan, sebab dari 200 perkara per bulan yang harus diputuskan tersebut menyangkut dari persoalan berat sampai hal remeh-temeh di masyarakat.

"Kita tidak bisa salahkan juga Hakim Agungnya kalau sebulan harus ketok perkara sebanyak 200. Karena perkara mulai dari arbitrase yang berat sampai perkara urusan jual beli jarum pentol masuk ke Mahkamah Agung," kata dia.

Ke depan, dia berharap pembahasan RUU KUHAP ini harus memberikan upaya hukum, apakah tetap seperti saat ini atau harus diubah.

"Kalau harus diubah apakah itu harus diatur dalam KUHAP atau bisa kita delegasikan ke peraturan ke bawah Hukum Acara Perdata," ucap Arsul.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya