Bandung - Pemeritah Kota Bandung tengah mengupayakan agar semua Puskesmas di Kota Bandung memiliki apoteker. Sebab, peran apoteker dinilai sangat penting dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Dari 81 Puskesmas yang ada di Kota Bandung, sebanyak 62 puskesmas telah memiliki tenaga kesehatan apoteker.
"Dari 81 puskesmas di Kota Bandung, ada 62 puskesmas yang punya tenaga kesehatan apoteker. Mudah-mudahan bisa dibantu pengadaan sisanya di 19 puskesmas lagi," ujar Wali Kota Bandung, Yana Mulyana pada seminar sekaligus konfercab Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Bandung, Sabtu, 29 Oktober 2022.
Menurutnya, dengan kehadiran apoteker di seluruh puskesmas Kota Bandung bisa memberikan kebutuhan obat yang tepat untuk masyarakat.
"Apoteker bisa memberikan obat yang baik dan tepat untuk masyarakat. Fungsi itu hanya bisa dilakukan oleh para apoteker," ungkapnya.
Yana juga membahas peran penting lain dari apoteker dalam pengendalian pandemi Covid-19 di Kota Bandung. Meskipun ada varian yang baru, tapi seluruh angka menunjukkan pandemi Covid-19 sangat terkendali.
"Mudah-mudahan proses ikhtiar vaksin yang kita lakukan bersama ini bisa menyelesaikan pandemi Covid-19 di Kota Bandung," harapnya.
"Melalui konsolidasi ini, semoga IAI bisa membuat program yang tidak saja memberikan manfaat untuk organisasinya, tapi juga masyarakat bangsa dan negara," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Operasional dan Pengembangan Halodoc, Satrio Pramudono menyebutkan, teknologi bisa meningkatkan daya saing para apoteker dalam digitalisasi farmasi.
"Kita bukan hanya bicara automasi, tapi membangun ekosistem secara utuh supaya layanan teknologi bisa dinikmati secara utuh seperti layanan offline. Misal janji temu, layanan chat dokter, dan toko kesehatan," jelas Satrio.
Namun, menurutnya pemanfaatan teknologi akan tetap percuma jika kreativitas tersebut tidak bisa dengan mudah dinikmati masyarakat luas. Sebab inovasi adalah kreativitas yang harus bisa memberikan dampak secara utuh.
"Kita harus fokus untuk membangun ekosistem kesehatan digital yang memberikan pengalaman mudah, nyaman, dan seamless," paparnya.
Menurutnya, sangat terasa di era digital ini, masyarakat sudah mulai masuk ke area kuratif dan preventif.
Biasanya akses ke rumah sakit butuh waktu yang relatif lama, tapi bagi masyarakat yang belum sempat bisa pergi ke RS, kini hanya kurang dari dua menit sudab bisa terhubung dengan dokter.
"Pun dengan kebutuhan obat. Biasanya kita menunggu bisa lebih dari setengah jam. Sekarang tinggal pesan dari rumah, menunggu obat sampai," tuturnya.
Meski kini layanan kesehatan telah masuk dalam dunia digital, tapi ia menegaskan, teknologi tidak akan pernah menggantikan pelayanan sarana kesehatan. Teknologi hanya berfungsi sebagai jembatan.
"Ada daya saing melalui layanan informasi yang menjadi kebutuhan di masyarakat. Dengan sistem resep elektronil, semua bisa lebih terkontrol dan menghindari human error," katanya.
Ia berharap, dengan melibatkan teknologi, para tenaga kesehatan termasuk apoteker bisa terkoneksi sebanyak apapun dengan sarana kesehatan se-Indonesia.
Menurut data yang disampaikan Satrio, rata-rata obat yang ada di apotek itu 1.500-2000 item. Padahal, faktanya jumlah obat yang beredar di seluruh apotek se-Indonesia bisa puluhan ribu.
Sehingga perlu adanya kolaborasi antar sarana kesehatan untuk mempermudah pelayanan kesehatan masyarakat.
"Akan sangat sulit saru sarana kesehatan bisa membawa puluhan ribu obat, sehingga kita harus mengonsolidasikan semuanya," ujarnya.
Ia juga berkomitmen, meski telah melakukan penyedia layanan kesehatan berbasis teknologi, tapi tetap harus mendengar kebutuhan pengguna untuk semakin memberikan kemudahan pada masyarakat. []