Pilihan Kamis, 02 Juni 2022 | 14:06

Andung-andung dalam Tradisi Batak, Jangan Lupakan Tilhang Gultom

Lihat Foto Andung-andung dalam Tradisi Batak, Jangan Lupakan Tilhang Gultom Salah satu penampilan Andung-andung Tao Toba, Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33, Medan, Sabtu, 30 Juni 2018. (Foto: bataktoday.com)
Editor: Tigor Munte

Pematangsiantar - Kematian identik dengan duka. Lelehan air mata sebagai bentuk ekspresi kedukaan dilakukan orang lantaran kematian anak atau kerabat.

Bagi orang Batak, terkadang tak cukup dengan hanya uraian air mata. Ekspresi berupa tangisan keras dan cerita tentang si orang mati, menjadi hal yang tak jarang terlihat.

Orang Batak menyebutnya Andung. Dikutip dari https://repository.ugm.ac.id/, sebuah disertasi dari Rosmegawaty Tindaon, Dr GR Lono Simatupang MA, Prof Victor Ganap MEd dan Prof Dr Timbul Haryono MSc dengan judul "Andung dan Andung-andung dalam Upacara Perkabungan Masyarakat Batak Toba: Kajian Musikologi".

Disebut, Andung adalah suatu bentuk nyanyian ratapan di dalam masyarakat Batak Toba yang dilantunkan secara spontan dalam peristiwa kematian. 

Fungsi utama Andung adalah sebagai ungkapan ekspresi seseorang atau keluarga terhadap seseorang yang meninggal dengan menceritakan kisah hidup orang yang meninggal tersebut kepada orang yang datang melayat di sekitar jenazah. 

Dikatakan, dalam perjalanannya, Andung pernah mengalami penolakan dari missionaris seiring masuknya agama Kristen Protestan di masyarakat Batak Toba. Mereka menganggap Andung sebagai bentuk pemujaan terhadap roh leluhur. 

Untuk mengantisipasi hal itu, otoritas gereja telah memberikan ruang dan alternatif untuk mengganti nyanyian Andung dengan nyanyian gereja. 

Dari penelitian lapangan yang telah dilakukan, para penulis disertasi ini menemukan fakta yang berbeda.

Di mana Andung dalam konteks awalnya masih tetap berlangsung hingga saat ini. 

Ditemukan dua kebaruan dalam penelitian disertasi ini, yaitu Andung adalah bagian yang integral dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dan tidak tergantikan oleh nyanyian gereja.

Andung telah mengalami transformasi menjadi andung-andung dalam konteks musik populer. 

Andung- andung tidak hanya dinyanyikan oleh keluarga yang sedang berduka, namun kerabat dan orang yang sedang melayat dapat bernyanyi bersama dengan iringan instrumen musik modern.

Merujuk hasil disertasi tersebut, ekspresi Andung yang berubah menjadi Andung-andung biasa kita dengar dalam bentuk musik dan lagu Batak.

Cukup banyak lagu Batak berjenis Andung-andung ini diciptakan dan dinyanyikan seniman Batak. 

Baca juga:

Osen Hutasoit, Pelantun Lagu Ganjang Ma Umurmi Manggung 10 Juni di Siantar

Tilhang Gultom, salah satu komponis Batak menciptakan lagu jenis ini. 

Karyanya yang cukup terkenal semisal Anak Tading Maetek, Landit Mansai Landit, Na Marina Panoroni, dan Molo Habang Ho Lali.

Tilhang Gultom

Nama lengkapnya adalah Tilhang Oberlin Gultom. Pria kelahiran Desa Sitamiang, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara.

Dikenal sebagai seniman dan pendiri Opera Batak periode 1920-1973. Tilhang selama kariernya telah mencipta 360 lagu, 12 tumba, dan 24 judul drama.  

Sebagai seniman opera Batak, Tilhang semasa hidupnya berlakon mirip teater keliling. Tilhang menggelar opera ini di pedalaman Tapanuli Utara. 

Dalam melakoni Opera Batak ini, Tilhang tentu banyak mencipta lagu Andung-andung. Di mana lagu-lagu itu dibawakan pula saat mentas.

Dan kemudian sampai saat ini Andung-andung tersebut hingga saat ini masih dinyanyikan banyak artis Batak.

Sebutan Opera Batak dipopulerkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-an.

Opera Tilhang mencapai masa keemasannya dari tahun 1960-1973. Dia wafat pada tahun 1973.

Opera Batak kemudian diteruskan Abdul Wahab Kasim Samosir (Pimpinan Opera Serindo) dan Zulkaidah boru Harahap dan suaminya Pontas Gultom.

 

Anak Tading Maetek

(Anak Ditinggal saat Kecil, terjemahan bebas)

 

Tio...pe mual dang tarinum au...

(jernih air tak bisa kuminum)

Porhot...pe hau dang tarjakkit au

(teguh kayu tak bisa kupanjat)

Tarsongon...sanduduk nihilhil

(seperti menggigit semak)

 

Namarsalaon i...

(terluka)

Nahancit, ma di au, ale inang

(sakit bagiku, ibu)

Gira do au, tading-tadingan

(masih kecil, ditinggalkan)

Da nahinan..

(dulu)

Nahancit, ma di au, ale inang

(sakit bagiku, ibu)

Gira do au, tading-tadingan

(masih kecil, ditinggalkan)

Da nahinan..

(dulu)

Marumur...ma au inong, satonga taon

(berusia 6 bulan)

Ditinggalhon damang dainang i

(ditinggalkan ayah ibu)

Nahancit...jala nabernit, hutaon do i

(sakit kuderita, kutanggung semuanya)

 

Dipaninggalhon mi, diau inong

(kau tinggalkan aku ibu)

Diauon, anakhonmon, nadangolon

(anakmu yang sengsara)

Dipaninggalhon mi, diau inong

(kau tinggalkan aku ibu)

Diauon, anakhonmon, nadangolon

(anakmu yang sengsara)

Dang tarsuhat be sidangolon inong...

(tak terukur rasa sakit ibu)

Dipaninggalhon mi di au..

(kau tinggalkan aku)

Dang tarsuhat be sidangolon inong...

(tak terukur rasa sakit ibu)

Diau, anakmu, nadangolon...

(anakmu yang sengsara)

 

Huhaol ma inong udean mi...

(kupeluk makammu ibu)

Hugarut ma inong tanomanmi...

(kukorek-korek tanahnya)

Tondi...songon batu, malonglong i...

(rohku, seperti batu yang tenggelam)

Hurippu do boi pajumpang, tu damang i..

(kupikir bisa ketemu ayah)

Hape naung sonang

(ternyata dia sudah senang)

do disi halonglongan i...

(untuk selamanya)

Hurippu do boi pajumpang, tu damang i..

(kupikir bisa ketemu ayah)

Hape naung sonang

(ternyata dia sudah senang)

do disi halonglongan i...

(untuk selamanya)

Dang tarsuhat be sidangolon inong...

(tak terukur rasa sakit ibu)

Dipaninggalhon mi di au...

(kau tinggal aku)

Dang tarsuhat be sidangolon inong...

(tak terukur rasa sakit ibu)

Diau, anakmu, nadangolon...

(anakmu yang kau tinggalkan). []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya