Jakarta - Anggota Komisi XI dari Fraksi PKS DPR RI, Anis Byarwati dalam mengapresiasi capaian yang telah diraih pemerintah dalam upaya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021. Dia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak menggunakan dana program PEN untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Disamping itu, Anis juga memberikan beberapa masukan terkait adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang jauh di bawah Malaysia dan Thailand.
Perbandingan itu terlihat dari data yang dikeluarkan oleh World Bank yang menyandingkan capaian Produk Domestik Bruto (GDP) per kapita Indonesia dengan negara tetangga.
Hal itu diungkapkan Anis dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan di Komplek Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu, 19 Januari 2022 kemarin.
Dijelaskannya, rentang tahun 1970-1996 (sebelum krisis moneter), grafik Indonesia melandai. Kalaupun ada kenaikan, naiknya hanya sedikit sekali. Sementara, pertumbuhan ekonomi Malaysia dan Thailand meroket.
Pada tahun 1996, GDP per kapita Indonesia hanya 1.100 USD, sementara Thailand menjadi 3.000 USD, dan Malaysia nyaris 5.000 USD.
Setelah krisis moneter pada rentang tahun 1999-2011, Indonesia relatif bisa menyamai pertumbuhannya dengan Malaysia dan Thailand, di mana grafiknya terus naik.
Kendati demikian, pada tahun 2012-2020, grafik Indonesia kembali melandai. Sementara, Malaysia dan Thailand, meski sempat turun naik, terus meroket.
Pada tahun 2020, saat GDP Malaysia sudah di angka 10.400 USD per kapita per tahun dan Thailand sudah 7.000 USD, Indonesia masih di angka 3.800 USD.
"Perbandingan ini baik untuk evaluasi kesejahteraan masyarakat kita. Dengan GDP Malaysia yang jauh di atas Indonesia, maka sangat wajar jika banyak di antara rakyat Indonesia yang tergiur untuk mengadu nasib di negara tetangga. Hal ini mungkin yang menjelaskan mengapa 3 juta lebih rakyat Indonesia mencari nafkah di Malaysia," kata Anis meneruskan keterangan tertulisnya, Jumat, 21 Januari 2022.
Lebih lanjut, Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengingatkan pemerintah agar tidak asyik dengan data dan capaiannya sendiri, kemudian lupa bahwa data itu ternyata masih jauh dibandingkan dengan negara lain.
Dia berpandangan, realita di lapangan dengan angka-angka capaian yang disampaikan pemerintah nyatanya belum berdampak signifikan untuk kehidupan rakyat.
"Masih sangat banyak rakyat yang hidup susah. Bagaimanapun, APBN merupakan instrumen kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyampaikan data Bank Dunia yang kembali menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah bawah atau lower middle income.
Peringkat per 1 Juli 2021 turun dibandingkan sebelumnya, di mana Indonesia sudah menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) pada 1 Juli 2020.
"Posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas hanya mampu bertahan sebentar saja. Dalam waktu satu tahun, Indonesia harus kembali sebagai negara kelas menengah bawah," tuturnya.
Oleh karena itu, politisi senior PKS ini kembali mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dengan data pribadi tanpa ada pembanding. Apalagi utang Indonesia semakin menumpuk.
Secara tegas, Anis menyinggung kinerja pemerintah yang harusnya fokus dan tidak mengurusi hal-hal lain seperti pemindahan ibukota negara.
Dia menegaskan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) tidak bisa menggunakan dana program PEN, sebagaimana tertuang dalam PP nomor 23 tahun 2020.
"Saya mengingatkan pemerintah bahwa program PEN harus tepat sasaran yaitu percepatan penanganan Covid-19, pemulihan dan penyelamatan ekonomi nasional. Sehingga, jika pembiayaan pemindahan Ibu Kota Negara menggunakan dana PEN, maka pemerintah telah melanggar UU no 2 tahun 2020," ucap Anis.[]