Pilihan Senin, 13 Juni 2022 | 12:06

Cerita Saut Situmorang soal Penyair Diusir, Dokter Diajak Makan Malam

Lihat Foto Cerita Saut Situmorang soal Penyair Diusir, Dokter Diajak Makan Malam Saut Situmorang seorang sastrawan Indonesia. (Foto: Facebook Saut Situmorang)
Editor: Tigor Munte

Balige - Sastrawan Saut Situmorang bercerita tentang kondisi dunia Sastra di Tanah Air yang belum begitu dihargai. Sebaliknya cenderung dilecehkan, tak cuma dalam dunia pendidikan formal tetapi juga keseharian kita.

Dia menyebut, pengalaman universal di Indonesia bahwa sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Fisika dan Matematika pasti dilecehkan. Apalagi kalau berhubungan dengan dunia Sastra. 

"Kalau ada anak muda mau melamar cewek pujaan hatinya, berani bertemu bapaknya. Lalu ditanya bapaknya pekerjaannya apa, aku yakin kalau dia jawab penyair, dia langsung diusir. Tapi kalau dia bilang dokter, walau hanya dokter hewan, wah langsung diajak makan malam," kata Saut.

Saut menyampaikan itu dalam seri diskusi Festival Literasi Balige 2022 yang digelar secara daring via Zoom pada Sabtu, 11 Juni 2022.  

"Mentalitas seperti ini memang harus kita akui, sangat dominan di budaya kita," tukas pria berambut gimbal tersebut. 

Contoh lain kata Saut, lihat saja euforia di media massa terhadap event yang disebut sangat heroik, yakni olimpiade Fisika. 

Kata dia, kalau ada murid yang berhasil ikut dalam olimpiade Fisika, apalagi sampai ke luar negeri, kalau di dunia Sastra kayak sudah menang Nobel Sastra.

"Tapi ada gak olimpiade Sastra, ada gak Olimpiade Bahasa. Ini kan aneh," katanya. 

Saut melihat, ini sudah menjadi sebuah seleksi terhadap mata pelajaran, mata kuliah. Ada yang dianggap, tanpa pembuktian secara sejarah maupun secara apapun, bahwa yang berhubungan dengan Sains, Fisika, dan Matematika itu pasti selalu waw.

"Sementara yang berhubungan dengan humaniora, seperti Sastra atau Seni itu ya begitu-begitu saja," katanya.

Dia kemudian mengutip ucapan atau yang disebutnya khotbah Albert Einstein. 

"Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Karena pengetahuan terbatas pada semua yang sekarang kita ketahui dan pahami. Sementara imajinasi mencakup seluruhnya dan semua yang akan pernah ada diketahui dan dipahami," tutur Saut membacakan ujaran Albert Einstein. 

Menurut Saut, ucapan dari seseorang yang dianggap di dunia Sains dan Fisika adalah dewa, justru sangat menghargai imajinasi ketimbang sekadar ilmu pengetahuan. 

"Kutipan ini bagi orang-orang seperti saya, sastrawan atau yang bekerja di dunia seni, itu bisa dibilang sangat menaikkan semangat, karena dinyatakan seorang Albert Einstein," tukasnya. 

Dia berharap di Indonesia pandangan seperti Albert Einstein tentang Sains dan imajinasi berjalan, maka problem besar tentang dominannya Fisika dan Matematika atas ilmu-ilmu lain itu bisa secara drastis dikurangi.

Saut lantas bertutur bagaimana di Selandia Baru, mata pelajaran Sastra di sekolah menengah itu dianggap momok, dan bukan justru lebay

Baca juga:

Festival Literasi Balige, Ingatan-ingatan tentang Sebuah Kota di Kawasan Danau Toba

"Momoknya begini. Mereka tak akan bisa masuk universitas kalau nilai mata pelajaran sastranya jeblok. Sastra ini sangat penting, bukan (hanya) Fisika atau Matematika," ujarnya.

Di sana kata Saut, belajar Sastra bukan seperti di Indonesia. Di mana Sastra itu ditumpangkan ke bahasa dan yang mengajar Sastra bukan Sarjana Sastra. 

"Di Selandia Baru apa yang mereka baca itu bukan sekadar kutipan atau ringkasan dari novel. Mereka harus baca novel penuh. Dalam satu semester mereka harus baca dua tiga novel," katanya. 

Saut mengingatkan bahwa Selandia Baru tergolong negara maju termasuk ekonominya. Dan dalam hal Sains banyak sekali kontribusinya pada perkembangan Sains.

"Tapi posisi Sastra itu begitu penting di sekolah mereka terutama di sekolah menengah. Tidak ada semacam pelecehan terhadap Sastra ini," tandas dia. 

Dewi Shanty Simanjuntak, guru bahasa Indonesia di SMA Unggul DEL menyebut, selama 10 tahun mengajar menemukan fakta siswa yang masuk di kelas 10 atau kelas 1 SMA tidak menaruh minat terhadap Sastra. 

"Sebelum menyampaikan pembelajaran, oke anak-anak kita belajar pusi ya. Respons mereka itu sedikit tidak menyenangkan," tuturnya, yang juga pembicara dalam diskusi tersebut.

Dewi mengatakan, dari yang dilihat dan didengar para siswa mengeluh dan minat mereka di awal memang tidak tertarik terhadap pembelajaran Sastra. 

Dia menyebut beberapa faktor penyebab, diantaranya minat literasi siswa yang kurang. Itu sebabnya Dewi selalu di awal membiasakan anak didiknya berliterasi atau membaca. 

"Di awal pelajaran misalnya dikasih baca koran. Di koran banyak topik sehingga disesuaikan dengan minat mereka, sebelum mendiskusikan atau mengajak mereka terjun ke Sastra. Jadi mereka membaca dulu, baru masuk ke Sastra itu sendiri," terangnya.

Dewi lantas membeber tiga hal temuannya yang membuat siswa kurang tertarik terhadap Sastra, yakni Sastra sulit dipahami, utamanya puisi.

Para siswa menilai kata-kata yang dipakai di dalam puisi mengandung banyak makna, sehingga sulit dipahami.  

Kedua, Sastra dianggap membosankan dan ketiga Sastra dinilai lebay.

Festival Literasi Balige 2022 merupakan event yang digelar untuk mendekatkan literasi kepada publik terutama generasi muda.

Seri diskusi digelar beberapa kali, di antaranya mengangkat topik `Pendidikan Sastra di Sekolah` yang digelar pada Sabtu, 11 Juni 2022.

Selain Saut dan Dewi, penyelenggara juga menghadirkan dua pembicara lainnya, Robert Sibarani, seorang doktor dan profesor bidang antropolinguistik.

Kemudian Budi P. Hutasuhut, sastrawan dan jurnalis. Diskusi itu sendiri dimoderasi oleh Maria Pankratia, Manager Program Klub Buku Petra dan Flores Writers Festival. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya