Jakarta - Penghapusan pidana mati dalam sistem hukum pidana nasional di Indonesia menjadi salah satu poin kesimpulan Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 pada 22-23 Juni 2022.
Konsultasi nasional ini diikuti sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Tanah Air, membahas substansi dan proses pembahasan Rancangan KUHP yang masih disempurnakan pemerintah.
Ada empat tema fundamental dalam penyusunan RKUHP yang dibahas saat itu, yakni tujuan pembaruan RKUHP, kodifikasi dalam politik hukum pidana Indonesia, harmonisasi delik untuk pembaruan KUHP, dan uji implementasi RKUHP.
Ditegaskan dalam kesimpulan konsultasi tersebut bahwa proses dekolonialisasi hukum pidana tidak boleh dimaknai secara terbatas pada penyusunan Rancangan KUHP Nasional yang berbahasa Indonesia.
Dekolonialisasi justru harus dilakukan dengan mengevaluasi ketentuan pidana yang memang secara khusus digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menunjukkan watak kolonialismenya, seperti pidana mati, penghinaan presiden/wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, dan sebagainya.
Model penerapan pidana mati yang digunakan RKUHP masih belum sepenuhnya mewujudkan misi dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana.
"Seharusnya pidana mati dihapuskan dari sistem hukum pidana nasional Indonesia," kata Dr Fachrizal Afandi dari Persada Universitas Brawijaya, dalam rilis yang diterima Opsi, Minggu, 26 Juni 2022.
Baca juga:
Bahaya Kontraproduktif Wacana Pidana Mati dalam Kasus Minyak Goreng
Dia menyebut, seandainya pun masih diterapkan, RKUHP perlu menjamin diberikannya masa percobaan selama 10 tahun secara otomatis dan tidak diserahkan pada penilaian hakim di persidangan.
Begitu juga dengan mekanisme perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup yang harus dihitung sejak putusan berkekuatan tetap dan tidak digantungkan pada penolakan grasi seperti masih diatur dalam Pasal 101 RKUHP.
Kesimpulan konsultasi nasional itu juga menyoroti skema pengakuan terhadap nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang digunakan untuk menghukum perbuatan seseorang dalam Pasal 2 RKUHP, justru kontraproduktif dengan dinamika kehidupan masyarakat adat.
Baca juga:
Warga Aceh Dituntut Pidana Mati Atas Kepemilikan Ratusan Kilo Sabu
Dengan mengambil alih penyelesaian permasalahan di masyarakat adat, negara membenarkan instrumen penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk memproses konflik tersebut dan berpotensi mematikan pranata yang selama ini berkembang di lingkungan masyarakat adat dimaksud.
Dikatakan juga bahwa proses kriminalisasi yang dilakukan RKUHP belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan terhadap proses demokratisasi hukum pidana.
Masih dipertahankannya delik-delik yang memberikan perlindungan berlebih terhadap ideologi dan simbol negara, termasuk penghinaan yang ditujukan terhadap presiden/wakil presiden, pemerintah, penguasa atau badan umum, dan mengancamkan pidana yang berat bagi pelanggarnya justru bertolak belakang dengan misi demokratisasi hukum pidana yang diusung RKUHP.
RKUHP belum memberikan respons terhadap liarnya tafsir ‘makar’ dalam praktik penegakan hukum yang diartikan secara serampangan.
Padahal, ‘makar’ seharusnya dikembalikan kepada makna asalnya dalam bahasa Belanda, yaitu ‘aanslag’ yang berarti ‘serangan’.
Sementara itu, istilah ‘makar’ yang diatur dalam Pasal 87 KUHP harus secara terbatas diartikan sebagai konteks pertanggungjawaban pidana untuk delik tersebut.
Pada bagian lainnya, RKUHP belum melakukan harmonisasi terhadap ketentuan pidana yang tersebar di UU lain secara teliti.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE belum dicabut dan diselaraskan dengan tindak pidana pencemaran yang diatur dalam Pasal 439 RKUHP. []