News Kamis, 24 Februari 2022 | 17:02

Gatot Nurmantyo Terancam Gagal Nyapres di Pemilu 2024

Lihat Foto Gatot Nurmantyo Terancam Gagal Nyapres di Pemilu 2024 Gatot Nurmantyo. (Foto: Instagram)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Rencana Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo untuk bisa melenggang sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden 2024 mengalami rintangan berat.

Pasalnya, permohonannya yang menguji aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebagaimana diatur dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu tidak dapat diterima Mahkamah Konstitusi.

Hal itu sebagaimana tertuang dalam putusan MK nomor: 70/PUU-XIX/2021 dibacakan dalam sidang pembacaan putusan yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 25 Januari 2022 lalu.

Sidang pengucapan putusan ini dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi enam hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
MK memberikan beberapa pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Menurut MK, berkaitan dengan kedudukan hukum perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017, MK telah mempertimbangkan dalam putusan MK nomor: 66/PUU-XIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022, yang telah diucapkan sebelumnya.

Antara lain menyatakan jelaslah bahwa MK pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.

Baca juga: Saat Jadi KSAD, Gatot Nurmantyo: Jangan Sampai Jadi Pelacur Politik!

Namun, sambung Wahiduddin, karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014 dengan Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya pada 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada putusan MK nomor: 74/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan tersebut, MK mempertimbangkan bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

Selain itu, Wahiduddin melanjutkan, MK juga berpendapat partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi, yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan.

Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk dipilih oleh MPR, jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.

Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan MK bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.

Baca juga: Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden Kandas di Mahkamah Konstitusi

Kemudian menurut MK, perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dapat dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan.

Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut MK tetaplah sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.

Wahiduddin juga menjelaskan, dalam putusan tersebut terdapat empat orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih serta Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Dalam pendapat berbeda tersebut, yang selengkapnya termuat dalam putusan MK nomor: 66/PUU-XIX/2021, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih berpendapat meskipun pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan mengenai ketentuan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.

Akan tetapi, dalam pokok permohonan berpendapat tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan pemohon ditolak. Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan pemohon.

Berdasarkan pertimbangan putusan MK nomor: 66/PUU-XIX/2021 tersebut, MK menegaskan, terkait dengan kualifikasi pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pileg 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional pemohon.

Baca juga: Tutup Peluang Sandiaga, Prabowo Capres Tunggal Gerindra di Pilpres 2024

Menurut MK, persoalan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengikuti pemilihan.

Dengan demikian, selain pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut MK, Gatot sebagai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Permohonan perkara nomor: 70/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Gatot Nurmantyo yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI. Gatot menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai warga negara Republik Indonesia yang memiliki hak untuk memilih sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemilu. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya