News Sabtu, 05 Juli 2025 | 14:07

Gerindra Khawatir Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Bertentangan dengan UUD 45

Lihat Foto Gerindra Khawatir Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Bertentangan dengan UUD 45 Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani. (Foto: Istimewa)

Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 menetapkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah. Partai Gerindra menilai langkah MK tersebut justru akan memicu persoalan baru di masa mendatang.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menjelaskan, konstitusi sudah mengatur jadwal pelaksanaan pemilu hanya satu kali dalam lima tahun.

"Di dalam Pasal 22E Undang-undang Dasar 45 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan selama sekali dalam 5 tahun untuk DPR RI, DPD, DPRD kabupaten kota dan provinsi," katanya seperti dikutip, Sabtu, 5 Juli 2025.

Muzani menyoroti isi putusan MK yang mengatur pilkada dan pemilihan DPRD akan digelar dua setengah tahun setelah pemilihan Presiden dan DPR RI rampung.

"Kami baca (putusan MK), pilkada dan pemilihan DPRD baru akan dilaksanakan dua setengah tahun setelah selesainya pemilihan Presiden dan DPR RI," lanjut Ketua MPR itu.

Menurutnya, konsekuensi dari jadwal baru tersebut akan memundurkan masa pelaksanaan pemilu, sehingga berpotensi bertentangan dengan aturan dasar yang sudah berlaku.

"Itu artinya ada pemunduran masa 2 tahun setengah. Pertanyaannya, apakah keputusan ini tidak berpotensi justru bertentangan dengan Undang-undang Dasar 45 yang mengatakan bahwa pemilihan itu dilaksanakan sekali dalam 5 tahun?" sambungnya.

Gerindra memandang putusan pemisahan jadwal ini rawan menimbulkan masalah konstitusional.

"Nah, pandangan kami, Keputusan Mahkamah Konstitusi ini justru berpotensi menimbulkan problem baru terhadap Pasal 22E Undang-Undang Dasar 45 yang menyebutkan bahwa setiap 5 tahun sekali diadakan pemilihan umum untuk memilih Presiden, DPR RI, DPD dan DPRD kabupaten/kota termasuk gubernur dan wali kota," jelasnya lagi.

Muzani juga mengingatkan, dasar pemilu serentak pun sebelumnya lahir dari putusan MK. Ia menilai sikap MK yang berubah dapat memicu kebingungan dalam praktik pemilu ke depan.

"Pemilu yang serentak ini Presiden, DPR RI, DPD, DPRD kabupaten kota dan provinsi itu kan dulu menjadi keputusan dari Mahkamah Konstitusi, agar pemilu dilaksanakan secara serentak. Kemudian kita mengikuti keserentakan seperti yang sekarang ini diminta oleh Mahkamah Konstitusi dan sekarang Mahkamah Konstitusi kemudian berubah lagi terhadap keputusan ini," katanya.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya