Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Harun Masiku bukan kader asli PDI Perjuangan (PDIP).
Dia baru bergabung pada 2018 dan memiliki kedekatan dengan Hatta Ali, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2012-2022. Kedekatan itu diduga memberinya pengaruh di MA.
Hal tersebut diungkap Tim Biro Hukum KPK dalam sidang praperadilan yang diajukan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 6 Februari 2025.
Dalam Pemilu 2019, Hasto Kristiyanto menempatkan Harun Masiku di Dapil I Sumatera Selatan, meski Toraja adalah daerah asalnya.
Langkah itu disebut KPK sebagai strategi politik karena Sumatera Selatan dianggap sebagai basis pemilih PDIP.
Namun, yang terpilih di dapil tersebut adalah Nazarudin Kiemas. Setelah Nazarudin meninggal dunia, kursi itu menjadi rebutan.
Hasto bersama sejumlah pihak diduga berusaha menetapkan Harun sebagai pengganti, meski Harun hanya meraih 5.878 suara, jauh di bawah Riezky Aprillia yang memperoleh 44.402 suara.
Upaya tersebut mencakup dugaan suap kepada mantan Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dan permintaan fatwa ke MA.
Bahkan, Hasto disebut berusaha memaksa Riezky mundur, termasuk mengirim Saeful Bahri untuk membujuknya di Singapura. Semua upaya itu gagal karena Riezky menolak mundur.
Dalam peristiwa yang terjadi awal 2020, Hasto diduga membocorkan informasi operasi tangkap tangan (OTT) yang menyasar Harun Masiku.
KPK menuding Hasto memerintahkan Harun merendam handphone dan segera kabur.
Staf PDIP, Kusnadi, juga disebut menerima perintah untuk menenggelamkan handphone sebagai upaya menghilangkan barang bukti.
Hasto bahkan diduga mengarahkan saksi agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya kepada KPK.[]