Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa batu bara tidak sepatutnya dicap sebagai energi kotor.
Ia berpendapat, perkembangan teknologi penangkap karbon atau carbon capture storage (CCS) kini memungkinkan penggunaan batu bara dengan emisi yang lebih bersih.
Dalam forum Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta Convention Center, Jumat, 10 Oktober 2025, Bahlil menjelaskan bahwa teknologi CCS mampu menangkap emisi karbon dioksida (CO2) dari proses pembakaran batu bara, kemudian menyimpannya di lokasi-lokasi tertentu seperti bekas sumur minyak dan gas.
“Saya tidak setuju kalau batu bara dianggap tidak bersih. Sekarang sudah ada teknologi untuk menangkap karbon, CO2 bisa dimasukkan ke tempat penyimpanan di sumur minyak atau gas,” ujarnya.
Bahlil menegaskan, Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia tidak bisa serta-merta meninggalkan sumber energi tersebut.
Ia menyebut, biaya produksi listrik berbasis batu bara masih jauh lebih murah dibandingkan energi baru dan terbarukan (EBT), sehingga transisi energi harus dilakukan dengan pendekatan realistis.
“Produksi energi dari batu bara itu masih lebih murah dibandingkan sumber energi bersih lainnya. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan energi itu tetap ramah lingkungan,” katanya.
Menurutnya, penerapan teknologi CCS dapat menjadi solusi untuk menekan emisi tanpa mengorbankan ketahanan energi nasional.
Selain itu, pengembangan teknologi penangkap karbon juga berpotensi menarik investasi besar ke sektor energi Indonesia.
“Selain mendorong energi baru terbarukan, kita juga sedang mencari teknologi agar bisa menangkap CO2-nya. Dengan begitu, listrik dari batu bara bisa tetap bersih,” tutup Bahlil.
Pernyataan Bahlil ini menegaskan posisi pemerintah yang mendorong transisi energi secara bertahap, dengan mengombinasikan pemanfaatan sumber daya fosil dan inovasi teknologi ramah lingkungan.[]