Jakarta - Presiden Jokowi memimpin rapat internal kabinet dihadiri 19 pejabat menteri dan kepala lembaga negara membicarakan follow up rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM sebelumnya sudah memutuskan dan menetapkan penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menko Polhukam Mahfud Md dalam keterangan pers selepas rapat kabinet, Selasa, 2 Mei 2023 mengatakan, Presiden Jokowi sebelumnya sudah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023.
Inpres ditujukan kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu
"Ini ditekankan bahwa rekomendasi ini adalah menitikberatkan perhatiannya pada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu," terang Mahfud.
Karena menurut Mahfud, terkait pelaku itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial, ini karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tukasnya.
Kemudian kata dia, di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu itu.
Tetapi pemerintah menyatakan, mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat dimaksud.
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 19966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak diubah," terangnya.
Mahfud lebih jauh mengatakan, mengenai peristiwa yang sudah diputuskan oleh pengadilan itu juga sudah tetap berlaku.
"Jadi yang kita lakukan ini adalah fokus pada korban, korban sekali lagi, korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang berdasarkan ada 12 peristiwa dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah, karena menurut undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu," ungkapnya.
Mahfud lalu menerangkan perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat.
Pelanggaran HAM berat itu dititikberatkan pada unsurnya, di mana pelakunya melibatkan aparat secara terstruktur. Mungkin korbannya hanya dua atau tiga orang, tetapi itu bisa menjadi pelanggaran HAM berat.
"Tetapi kalau pelakunya itu sipil terhadap sipil lainnya, meskipun korbannya ratusan, seperti peristiwa bom Bali dan sebagainya itu bukan pelanggaran HAM berat, tapi kejahatan berat," jelasnya.
Disebutnya, langkah berikutnya pada Juni 2023, Presiden akan melakukan kick off atau peluncuran upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non yudisial.
Rencananya akan dilakukan di Aceh atau dipusatkan di Aceh pada bulan Juni tanggalnya masih akan ditentukan.
Tempatnya berada di tiga titik, yaitu di Simpang Tiga Rumah Gedong dan Pos Statis, serta Jambu Kepuh.
BACA JUGA: PBB Apresiasi Jokowi, PSI: Komitmen Indonesia Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
"Data sudah ada, sumbernya nanti akan di-crosscheck lagi bentuk yang akan diluncurkan. Apa bentuk penyelesaian di dalam kick off, itu mungkin bentuknya adalah taman belajar atau living park tentang hak asasi," ungkapnya.
Ini semua kata dia, masih akan dibicarakan dalam waktu dekat. Pemerintah melalui 19 pejabat setingkat menteri dan kepala lembaga akan segera melakukan langkah-langkah koordinasi percepatan.
Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Mahfud kemudian mengungkap, salah satu dalam kick off nantinya akan diumumkan kepada warga negara yang menjadi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu yang ada di luar negeri, yang dikenal sebagai istilah exit.
"Banyak sekali orang yang tidak terlibat dalam gerakan, misalnya apa yang disebut G30S PKI dulu, menjadi korban tidak boleh pulang dari luar negeri. Karena waktu itu mereka disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke berbagai negara, di Eropa Timur, di Eropa dan RRC dan macam-macam itu, begitu mereka selesai ternyata terjadi peristiwa itu G30S sehingga tidak diizinkan pulang pada waktu itu," terangnya.
Mereka ini kata Mahfud, masih ada beberapa di luar negeri. "Nanti akan kita undang mereka. Ini bukan anggota PKI. Mereka ini korban karena disekolahkan lalu tidak boleh pulang," ujarnya.
Dia memberi contoh Presiden BJ Habibie. Merupakan salah satu korban peristiwa tahun 1965, di mana Habibie tahun 60 bersekolah ke Jerman. Tahun 63 lulus master lalu melanjutkan doktor. Lulus doktor persis pada akhir tahun 1965 terjadi peristiwa G30S PKI.
"Beliau termasuk orang yang semula tidak boleh pulang. Tetapi pada tahun 1974 ketemu dengan Presiden Soeharto ketika berkunjung ke Jerman dan kebetulan mereka kenal. Ditanya Habibie kok kamu ada di sini, Habibie jawan tidak boleh pulang Pak," ungkap Mahfud.
Saat itu ada kebijakan karena peristiwa 1965, Habibie tidak boleh pulang. Lalu oleh Soeharto diajak pulang dan jadilah dia menjadi presiden.
BACA JUGA: Infografis: Komitmen Jokowi Pelanggaran HAM Berat Tidak Terjadi Lagi
"Nah, korban yang seperti ini, orang yang sekolah bukan terlibat Gerakan 30 September hanya disekolahkan saja. Sekarang masih ada beberapa di luar negeri, menurut Menkumham tadi masih ada 39 orang. Nanti ini akan kita cek satu per satu," tukasnya.
Menurut Mahfud, meskipun mereka nantinya tidak mau pulang ke Indonesia, mereka akan dinyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara.
"Karena untuk pengkhianatan terhadap negara itu sudah selesai di pengadilan. Sudah selesai di era reformasi, dimana skrining dan sebagainya dihapus dan kemudian semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan," tandasnya.
Dicecar wartawan soal warga yang berada di luar negeri tersebut, Menko Mahfud mengatakan ada di Rusia, Praha, Kroasia, dan ada di berbagai negara seperti Belanda.
Mereka umumnya sebenarnya sudah ditawari pulang waktu zaman Presiden Gus Dur, Presiden SBY, dan Presiden Megawati.
"Sudah difasilitasi tapi mereka sudah tidak punya keluarga di sini, asetnya sudah habis, mereka sudah kawin di sana. Ada yang jadi profesor di sebuah universitas di Rusia," tuturnya.
"Karena mereka enggak boleh pulang, tetapi mereka ini hanya ingin dinyatakan mereka belajar, disekolahkan secara resmi oleh negara," tandas Mahfud. []