Jakarta - Orang Batak dikenal teguh memegang aturan untuk tidak menikah dengan satu marganya. Tak hanya satu marga, di beberapa kelompok marga, aturan ini pun juga berlaku.
Misalnya, di kelompok marga Nai Ambaton atau Parna, meski terdiri dari puluhan marga, tetapi aturan untuk tidak saling mengawini dalam satu kelompok marga ini juga masih ditaati.
Sejak kapan sebenarnya aturan tidak boleh menikah satu marga ini berlaku di adat Batak? Dan apa latar belakang dibuat aturan ini?
Aturan ini sebenarnya tak lepas dari sejarah silsilah nenek moyang orang Batak. Mari kita mulai dari sejarah si Raja Batak.
Si Raja Batak mempunyai dua anak, yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Versi lainnya menyebut sesungguhnya Si Raja Batak punya tiga anak, satu lagi yang paling bungsu bernama Toga Laut. Namun Toga Laut disebut mengembara ke arah utara menuju Aceh dan tidak pernah kembali di masa mudanya.
Mengutip buku "Tarombo Marga ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung (1991), Guru Tatea Bulan dari istrinya bernama Si Boru Baso Burning, mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan.
Perempuan Batak zaman kolonial Belanda (Foto: KITLV/Circa 1915)
Lima laki-laki yakni Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja, dan Malauraja. Empat perempuan yakni Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Boru Biding Laut, dan Boru Nantinjo.
Sementara Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi, dan Sangkarsomaling.
Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan incest atau perkawinan sedarah antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya Si Boru Pareme.
Dalam cerita yang berkembang, Tuan Sariburaja dan Si Boru Pareme sebenarnya lahir marporhas (lahir kembar dengan jenis kelamin yang berbeda). Si Boru Pareme hamil dan itu membuat murka saudara-saudaranya yang lain. Hal itu yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya.
Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil. Si Boru Pareme pun juga dibuang ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung.
Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Dikisahkan, Si Raja Lontung kemudian mengawini ibunya sendiri, Si Boru Pareme. Mengutip dari buku “Kamus Budaya Batak Toba” karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987, Si Raja Lontung mempunyai tujuh putra dan dua putri. Ketujuh putra itu yakni Sinaga Raja, Tuan Situmorang, Pandiangan, Toga Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar.
Dua putri yakni Si Boru Anakpandan yang menikah dengan marga Sihombing dan Si Boru Panggabean yang menikah dengan Simamora.
Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah sembilan orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina, Pasia Boruna Sihombing Simamora.
Pasangan ini digelari Ompu Pasang Batu dari Simorangkir, Silindung, Tarutung. Foto ini dipublikasikan tahun 1910. (Sumber foto Universitas Leiden Belanda/KITLV.)
Masih mengutip buku W. Hutagalung, kemudian terjadi friksi antara keturunan Si Raja Lontung dan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, di mana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja, dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.
Friksi ini kemudian terus berlanjut di mana keturunan Si Raja Borbor tidak mau memanggil "abang" kepada keturunan Raja Lontung. Aliansi keturunan Raja Borbor malah menggunakan panggilan "amangboru" bukan "abang".
Dengan terjadinya perkawinan incest atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "boru".
Lalu muncullah Tuan Sorimangaraja, putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.
Keputusan Tuan Sorimangaraja adalah:
- Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu, dan Tuan Sorimangaraja.
- Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenankan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.
- Bahwa segala "horja" atau kerja dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya.
Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga.
Foto ini koleksi Universitas Leiden Belanda/KITLV berjudul "Batak vrouwen in de Silindoengvallei bij Taroetoeng", dipublikasikan tahun 1910. (Foto: KITLV)
Pada perkembangannya sampai saat ini, keturunan Tuan Sorimangaraja-lah yang paling ketat menjalankan aturan bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu.
Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga istri yakni:
- Si Boru Anting Malela alias Si Boru Anting Sabungan atau Nai Ambaton.
- Si Boru Biding laut atau Nai Rasaon.
- Si Boru Sanggul Haomasan alias Nai Suanon.
Istri pertama Nai Ambaton melahirkan putra pertama bernama Tuan Sorba Dijulu alias Ompu Raja Nabolon. Ompu Raja Nabolon kemudian digelari Nai Ambaton, menurut nama ibunya.
Sampai sekarang semua keturunannya dinyatakan sebagai keturunan Nai Ambaton atau Parna (Parsadaan nai Ambaton).
Ompu Raja Nabolon mempunyai empat orang anak yakni Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munte Tua. Versi lain menyebut anak Ompu Raja Nabolon ada 5 dengan tambahan Nahampun Tua.
Walaupun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang dibuat Tuan Sorimangaraja yang melarang perkawinan antar sesama saudara. []