Hukum Jum'at, 02 September 2022 | 19:09

Kisruh Tak Ditahannya Putri Candrawathi, ICJR: Segera Revisi KUHAP

Lihat Foto Kisruh Tak Ditahannya Putri Candrawathi, ICJR: Segera Revisi KUHAP Istri Ferdy Sambo Putri Candrawathi. (foto: istimewa).
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Putri Candrawathi atau PC tidak ditahan oleh kepolisian terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. 

Hal ini dipertegas Inspektur Pengawasan Umum Polri. Alasan kepolisian, mempertimbangkan hal-hal terkait kemanusiaan.

Penyidik hanya menekankan kepada PC untuk wajib lapor dua kali dalam seminggu. 

Ini kemudian memunculkan polemik di ruang publik. Polisi dinilai diskriminatif, di saat perempuan tersangka lain bahkan harus membawa anaknya ke tempat penahanan

Merespons ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menekankan, bahwa penahanan memang bukan merupakan keharusan, bukan suatu kewajiban, tidak mesti bahwa orang yang menjadi tersangka harus ditahan. 

"Penahanan hanya apabila kepentingan pemeriksaan dibutuhkan, misalnya jika tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis diterima Opsi, Jumat, 2 September 2022.

Selain itu kata Erasmus, untuk tersangka perempuan dengan kebutuhan spesifik berbasis gender harus dipertimbangkan.

Misalnya, apakah perempuan tersebut memiliki beban pengasuhan, menjadi pengasuh utama ataupun sedang hamil harus dihindarkan dari penahanan. 

"Hal ini berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak," ujarnya. 

Hanya saja Erasmus mengakui, dalam kerangka hukum KUHAP saat ini banyak sekali permasalahan dalam hukum penahanan.

Antara lain, pertama, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya digantungkan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik. 

Padahal sistem seperti ini merupakan suatu masalah, membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel.  

Baca juga:

Ucapan Terakhir Ferdy Sambo Sebelum Menghabisi Nyawa Brigadir Yoshua

Pasal 9 ICCPR menjelaskan, bahwa orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. 

Otoritas ini menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan. 

"KUHAP harus direvisi, memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang bertugas salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan atau tidak, secara akuntabel. Tidak hanya pertimbangan penyidik semata," tukasnya. 

Kedua kata Erasmus, KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk bagaimana secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat dapat dilakukannya penahanan. 

Menurut putusan pengadilan HAM Eropa Piruzyan v. Armenia, para 99-100, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, yang berbasis stereotip ataupun adalah alasan yang diulang-ulang. 

Baca juga:

Kamaruddin Beri Syarat Kalau Ferdy Sambo Mau Lolos Hukuman Mati

Perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri ataupun menghalangi penyidikan. 

Hal ini tukas dia, tidak terjadi dalam praktik di Indonesia. "Jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang," jelas Erasmus. 

Dia menilai, pendekatan yang digunakan oleh penyidik dalam menentukan penahanan adalah pendekatan kewenangan.

Terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak diperlukan adanya uraian lagi. 

"Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel," tukasnya.

Ketiga terang Erasmus, KUHAP pun tidak mengakomodir pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya. 

Seharusnya terdapat penegasan dalam KUHAP, bahwa otoritas yang melakukan penahanan harus terlepas dari aparat penegak hukum. Sehingga penahanan di kepolisian dan kejaksaan harus dihapuskan. 

Menurutnya, harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan non rutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia, dan juga untuk tersangka dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan. 

"Sudahlah, kita seharusnya bisa bersepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel. Salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum, utamanya penyidik," tandas Erasmus. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya