Hukum Kamis, 26 Oktober 2023 | 18:10

Masyarakat Adat di Papua Lawan Pembangunan Kebun Sawit oleh Perusahaan asal Malaysia

Lihat Foto Masyarakat Adat di Papua Lawan Pembangunan Kebun Sawit oleh Perusahaan asal Malaysia Masyarakat adat Awyu Papua. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Papua - Masyarakat adat suku Awyu di Papua melakukan perlawanan terhadap PT Indo Asiana Lestari. 

Sebuah perusahaan modal asing yang dikendalikan perusahaan asal Malaysia All Asian Group.

Mereka bermaksud membangun perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 90 ton TBS per jam, seluas 36.096,4 hektare.

Perusahaan ini sudah mendapat izin dari Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021, yakni tentang Kelayakan Lingkungan Hidup.

Masyarakat adat Awyu melakukan perlawanan dengan cara menggugat keputusan Pemerintah Papua yang memberikan izin dimaksud.

Setelah menjalani proses sidang selama tujuh bulan lebih, maka pada 2 November 2023 mendatang, majelis hakim PN Papua akan memutus gugatan tersebut.

Seluruh para pihak, penggugat dan tergugat telah mengajukan kesimpulan pada 20 Oktober 2023 lalu. 

Tigor Hutapea selaku kuasa penggugat masyarakat adat menyebut, pihaknya telah mengajukan kesimpulan kepada majelis hakim berisi seluruh berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan. 

Fakta-fakta didukung dengan banyak alat bukti surat, keterangan para saksi, dan para ahli.

"Ada 102 bukti surat yang kami ajukan, enam orang saksi fakta, tiga ahli yang memiliki latar belakang penyusun amdal, ahli pertanian masyarakat dan hukum lingkungan, semua bukti ini mendukung argumentasi kami,” ungkap Tigor dalam keterangan tertulis, Kamis, 26 Oktober 2023.

Disebutnya, gugatan ini dilatarbelakangi terbitnya izin kepada PT Indo Asiana Lestari.  Rencana perkebunan kelapa sawit ini telah ditentang masyarakat yang khawatir kehilangan hak tanah adat yang telah dijaga dan dikelola turun temurun sebagai sumber kehidupan.

BACA JUGA: Masyarakat Adat di Tano Batak Akan Terus Berjuang Hingga PT TPL Tutup

"Tindakan sewenang pemerintah yang tetap memaksa penerbitan izin akhirnya digugat," katanya. 

Pihaknya kata Tigor, menyimpulkan bahwa proses penerbitan keputusan pemerintah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyusunan dokumen analisa dampak lingkungan (amdal) melanggar prinsip validitas data. 

Terungkap di persidangan banyak data amdal yang tidak valid, penyusun amdal juga tidak menganalisis nilai kenekaragamanhayati yang tinggi di lokasi.

Tidak melakukan analisis dampak deforestasi terhadap perubahan iklim, penyusun amdal juga dengan sengaja tidak memasukan pendapat masyarakat yang melakukan  penolakan. 

"Seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan keputusan tersebut," kata Direktur LBH Papua Emanuel Gobay ikut menimpali.

Diungkap pula, gugatan ini mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Sebuah petisi yang disusun Gerakan Solidaritas Untuk Selamatkan Hutan Adat Papua ditandatangani  73 lembaga dan 94 individu. 

Dukungan awal telah diserahkan ke majelis hakim, dan dukungan akan bertambah hingga menjelang putusan. 

Selain itu Komnas HAM, berbagai kalangan akademisi, dan organisasi sipil menyusun amicus Curie (sahabat peradilan) yang dikirimkan ke pengadilan.

"Kami berharap putusan hakim yang adil. Putusan ini akan menyelamatkan 26.326 hektare hutan alam kering yang dapat berkontribusi besar membantu mengatasi perubahan iklim dan memulihkan hak masyarakat adat," katanya. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya