Hukum Rabu, 05 Juli 2023 | 15:07

Masyarakat Sipil Mendukung Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 

Lihat Foto Masyarakat Sipil Mendukung Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang  Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu. (Foto: Tangkapan Layar)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Sejumlah kelompok masyarakat sipil pemangku kepentingan di Tanah Air mendorong dan mendukung revisi UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO. 

Sikap dan resume ini setidaknya juga merujuk pada hasil penelitian Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR terkait evaluasi kerangka hukum pemberantasan TPPO dan bentuk eksploitasi lain yang berkaitan.

Hasil penelitian diluncurkan pada Selasa, 4 Juli 2023. Ada tiga pembicara dilibatkan dalam proses peluncuran penelitian.

Penelitian ini memeriksa kerangka hukum tindak pidana perdagangan orang dan bentuk eksploitasi terkait, apakah kerangka hukumnya telah komprehensif. 

Temuan tersebut kemudian juga dilihat dalam penerapan di putusan pengadilan sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung dan juga pada aspek pemahaman aparat penegak hukum di 7 wilayah di Indonesia. 

Dari penelitian tersebut, ditemukan pertama, terdapat catatan mendasar sebagai kekurangan dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Antara lain bahwa pengaturan pemidanaan untuk bentuk perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi di luar wilayah Indonesia cukup minim, sehingga cenderung hanya dapat menjerat pelaku lapangan. 

Kemudian, pengaturan khusus mengenai anak, bahwa konsen/persetujuan untuk anak tidak relevan untuk digali dalam TPPO anak, namun hal ini tidak dimuat dalam UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. 

Catatan kerangka hukum juga ditemukan dalam UU terkait TPPO lainnya yaitu UU Perlindungan Pekerja Migran, UU Ketenagakerjaan, UU ITE, UU Pornografi, KUHP dan KUHP Baru, UU TPKS dan UU Keimigrasian 

Kedua, catatan permasalahan dan kekurangan kerangka hukum tersebut juga terjadi pada putusan pengadilan. 

Analisis dilakukan kepada 38 putusan di tingkat Mahkamah Agung dengan dakwaan dan atau tuntutan dengan UU PTPPO.

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, 14 putusan akhir TPPO, 5 putusan akhir perbuatan mempermudah perbuatan cabul (prostitusi), 4 putusan bebas. 

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, rentang waktu kejadian tindak pidana 2013 – 2021, tahun terbanyak pada 2016 dan 2018. 

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, jenis eksploitasi paling banyak antara lain, eksploitasi seksual dan pekerja migran. 

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, 32 perkara dengan korban perempuan, 4 perkara dengan korban laki-laki dan 3 perkara dengan korban perempuan dan laki-laki. 

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, paling banyak pelaku ada perekrut kerja diikuti oleh mucikari. 

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, 33 perkara tanpa pendampingan korban. Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, 26 perkara tanpa tuntutan restitusi bagi korban, 12 perkara dengan tuntutan restitusi dan 10 dengan putusan restitusi. 

BACA JUGA: Dalam Sebulan Satgas Selamatkan 1.943 Korban TPPO, Mahfud: Belum Pernah Terjadi Sebelumnya

Dari 38 Putusan di Tingkat Mahkamah Agung, hanya 2 perkara yang menyertakan perampasan aset untuk kepentingan pembayaran restitusi korban, namun itu pun tidak dibuat secara detail bagaimana melaksanakannya. Selain itu, dalam tataran pertimbangan hakim juga ditemukan permasalahan. 

Ketiga, berkaitan dengan pemahaman aparat penegak hukum, dalam penelitian ditemukan tiga komponen inti TPPO belum sepenuhnya dipahami APH.

Terdapat aparat penegak hukum yang menjelaskan bahwa unsur proses hanya berupa rekrutmen dan mensyaratkan adanya perpindahan orang. Dipahami bahwa eksploitasi harus sudah terjadi.

Hanya sangat sedikit aparat penegak hukum yang mampu mengidentifikasi catatan permasalahan UU TPPO. 

Aparat penegak hukum masih menemukan kesulitan untuk menjelaskan perbedaan TPPO dengan terjadinya bentuk eksploitasi TPPO yaitu kerja paksa, eksploitasi kerja migran, eksploitasi seksual, dan penyelundupan manusia.

Belum ada pernah penerapan penanganan perkara TPPO dengan bentuk kerja paksa di wilayah Indonesia dan penegakan hukum sulit untuk menjerat jaringan kejahatan terorganisir dan transnasional. 

Ir Prijadi Santoso selaku Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Antonius PS Wibowo selaku Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, dan Martinus Gabriel Goa selaku Ketua Dewan Pembina Lembaga Hukum dan HAM PADMA Indonesia memberikan rekomendasi atas hasil penelitian. 

Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam penelitian tersebut adalah revisi UU 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan menjawab seluruh temuan permasalahan dalam penelitian. 

Antonius mendukung rekomendasi tersebut mengingat UU PTPPO telah berusia 16 tahun, rekomendasi itu harus disertakan dengan amanat pembentukan aturan teknis khususnya tentang pemenuhan hak korban utamanya restitusi. 

Hal senada juga disampaikan Prijadi Santoso. Dia mendukung revisi UU PTPPO untuk lebih akomodatif terhadap semua bentuk TPPO dan lebih berdampak untuk penegakan. 

Sedangkan Martinus Gabriel Goa lebih maju, mendukung revisi UU PTPPO dengan menyatakan bahwa penelitian ICJR dapat menjadi sumber dasar penyusunan naskah akademik revisi UU PTPPO.

Poin penting yang ia juga sampaikan adalah pentingnya pengaturan hak korban dengan memberikan jaminan rumah aman bagi korban, dan proses revisi yang harus dilakukan dengan melibatkan multi aktor, LPSK, lembaga internasional untuk mendukung dan masyarakat sipil yang mengadvokasi TPPO. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya