News Kamis, 08 September 2022 | 14:09

Pak Jokowi, Kapan Kekerasan Tentara dan Polisi di Papua Berhenti 

Lihat Foto Pak Jokowi, Kapan Kekerasan Tentara dan Polisi di Papua Berhenti  Rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Kampung Pigapu, Distrik Mimika, Kabupaten Mimika, Papua pada 5 September 2022. (Foto: Tangkapan Layar)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kekerasan aparat tentara dan polisi di Tanah Papua seakan tak habis-habis. Korbannya adalah warga sipil di sana.

Peristiwa teranyar adalah pembunuhan keji disertai mutilasi pada 22 Agustus 2022 terhadap empat warga sipil.

Pelakunya enam prajurit TNI-AD dari kesatuan Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.

Seminggu berselang, pada 30 Agustus 2022 kembali terulang di Mappi, Papua, dengan memakan empat korban warga sipil, satu diantaranya meninggal dunia. 

Pelakunya diduga kuat merupakan prajurit TNI dari kesatuan Satgas Yonif Raider 600/Modang.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan pers tertulisnya, Kamis, 8 September 2022, mengecam keras segala bentuk tindakan kekerasan terhadap orang asli papua (OAP) yang dilakukan oleh aparat keamanan. 

Rentetan tragedi kemanusiaan yang terus terjadi dan berulang terhadap warga sipil di Papua, menunjukkan watak negara yang tidak bertanggung jawab dalam upaya memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi setiap orang Papua.

Kasus-kasus tersebut semakin mencerminkan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfil) HAM menjadi persoalan serius yang perlu dialamatkan terhadap pendekatan keamanan dalam penanganan konflik di Papua. 

"Penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan persoalan di Papua kembali memperlihatkan implikasi buruk terhadap upaya penyelesaian konflik dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Muhammad Isnur dari YLBHI, yang tergabung dalam koalisi.

Kata dia, penggunaan pendekatan tersebut berimplikasi terhadap eskalasi konflik yang terus meningkat melalui pelbagai kasus-kasus yang berujung tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap warga lokal, bahkan hingga berakibat hilangnya nyawa.

Menurutnya, dua peristiwa di atas menjadi fenomena dari puncak gunung es akibat dari kebijakan dan pendekatan pemerintah yang keliru. 

Selama ini pemerintah gemar mengedepankan pendekatan keamanan. Kondisi tersebut tergambar dari banyaknya pengerahan pasukan keamanan ke wilayah-wilayah konflik. 

Alih-alih menciptakan perdamaian dan ketertiban, yang terjadi justru semakin banyak peristiwa kekerasan dan menimbulkan korban jiwa. Tidak jarang yang menjadi korban ialah masyarakat sipil.

Peradilan Militer

Koalisi menurut Isnur, menilai bahwa masifnya peristiwa kekerasan di tubuh TNI tidak dapat dilepaskan dari persoalan peradilan militer yang hingga kini tak kunjung diperbaiki. 

"Sejak awal, kami menilai peradilan militer banyak menuai masalah mulai dari prosesnya yang tidak akuntabel hingga menjadi ruang impunitas," kata dia.

Mengacu pada agenda reformasi sektor keamanan, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana harus dibawa dan diadili melalui mekanisme peradilan umum. 

Sayangnya, carut marutnya peradilan militer juga tidak dibarengi dengan upaya untuk segera dilakukan reformasi.

Temuan KontraS

Kekerasan di tanah Papua, KontraS yang sudah melakukan pemantauan, menemukan dalam rentang Januari-Agustus 2022 terdapat tindak tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI. 

Terjadi Jayapura, Mappi, Sinak, Intan Jaya, Maybrat, Manokwari hingga Mimika. 

Bentuk kekerasannya meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, penyiksaan, intimidasi serta penembakan. 

 

Terdapat 18 warga sipil yang menjadi korban, tujuh diantaranya meninggal dunia.Jokowi menghadiri peluncuran Papua Football Academy di Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, 1 September 2022. (Foto: Setkab)

Kekerasan oleh anggota Polri, setidaknya terdapat 27 peristiwa. Dari Januari-Juli, terdapat 118 korban sipil yang tersebar dari wilayah Yahukimo, Mimika, Jayapura, Nabire, Timika, Wamena, Sorong dan Paniai. 

Dari ratusan korban, tiga diantaranya meninggal dunia. Jenis kekerasannya meliputi pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, intimidasi, dan penembakan.

Riset LIPI

Merujuk riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat setidaknya terdapat empat akar persoalan kekerasan di Papua, yakni kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. 

"Sayangnya, identifikasi empat akar masalah tersebut tidak ditindaklanjuti dengan mengupayakan cara- cara damai berupa pendekatan dialog," kata dia.

Desakan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Jokowi menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik di Papua. 

Pendekatan keamanan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan masalah dan justru berakibat pada masifnya berbagai peristiwa pelanggaran HAM.

Panglima TNI segera memberhentikan secara tidak hormat kepada seluruh prajurit TNI yang diduga terlibat dalam peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM.

Kapolri segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan dalam peristiwa kekerasan yang terjadi secara tuntas, tidak terkecuali kepada para prajurit TNI yang terlibat. 

Memberikan akses hukum dan informasi seluas-luasnya kepada para keluarga korban terkait proses hukum yang sedang berjalan. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya