Jakarta - Dosen Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai rencana DPR RI mengevaluasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai langkah yang membahayakan tata kelola demokrasi.
Menurutnya, kebijakan tersebut bisa menjadi celah intervensi terhadap lembaga independen.
"Ini agak lucu dan menggelitik. Kalau evaluasi itu sampai berujung pada pencopotan, artinya DPR melakukan pengambilan kesimpulan yang keliru," ujar Herdiansyah seperti mengutip CNNIndonesia, Rabu, 5 Februari 2025.
Herdiansyah menegaskan bahwa aturan internal DPR tidak boleh melangkahi undang-undang.
Ia menilai revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 yang memuat ketentuan evaluasi pimpinan lembaga negara melanggar prinsip hierarki hukum.
"Kalau bicara logika hukum yang benar, undang-undang itu dasar utama, bukan aturan internal seperti Tatib DPR. Ini salah besar," tegasnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan motif DPR di balik kebijakan tersebut.
"Saya curiga ini ada semacam upaya untuk menyandera lembaga independen yang seharusnya bebas dari tekanan politik," ujarnya.
Herdiansyah menekankan bahwa pimpinan KPK dan hakim MK sudah melalui proses seleksi ketat yang ditetapkan oleh Keputusan Presiden (Keppres).
Evaluasi terhadap mereka tidak boleh didasarkan hanya pada keputusan DPR.
"Kalau semua diputuskan sepihak oleh DPR, ini bisa merusak tatanan demokrasi kita," katanya.
Revisi Tatib DPR yang memuat Pasal 228A menjadi sorotan karena memungkinkan evaluasi berkala terhadap pejabat yang dipilih melalui fit and proper test di lembaga tersebut.
Pasal itu menyebutkan bahwa evaluasi dilakukan untuk menjaga "muruah dan kehormatan DPR".
Meski demikian, Herdiansyah menilai dalih menjaga marwah DPR tidak bisa mengorbankan independensi lembaga negara.
"Kalau ini dibiarkan, independensi lembaga seperti KPK dan MK terancam," ujarnya.
Herdiansyah pun mendesak agar DPR menghentikan langkah yang berpotensi menyimpang tersebut.
"Demokrasi kita tidak boleh dipermainkan dengan aturan yang semena-mena," pungkasnya.[]