Jakarta - Pembahasan RUU TPKS masih akan dilanjutkan Pemerintah dan DPR pada Senin, 4 April 2022. Terdapat sejumlah catatan baik formil maupun substansi direkomendasi oleh kelompok masyarakat sipil.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulisnya menyebut sejumlah rekomendasi dimaksud.
Pertama, terkait proses pembahasan kata dia, agaknya perlu juga diakomodasi oleh Baleg DPR untuk mempublikasikan catatan rapat setiap harinya untuk dapat diakses masyarakat sipil sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip keterbukaan.
Mekanisme sejenis ini tersedia misalnya dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi di mana risalah sidang dapat diakses 24 jam pasca pelaksanaan sidang.
“Catatan rapat yang mudah diakses publik penting tidak hanya untuk tertib administrasi, namun juga secara substansial nantinya akan sangat diperlukan untuk secara komprehensif mengetahui original intent dari suatu rumusan perundang-undangan,” kata Maidina.
Kedua, meskipun secara umum Pemerintah dan DPR membuka masukan dan mendengarkan banyak masukan publik, namun masih terdapat beberapa catatan di mana beberapa elemen masyarakat masih belum didengarkan masukannya.
Benar, RUU TPKS merupakan salah satu RUU prioritas yang bahkan mendapatkan atensi utama dari Presiden Jokowi dan banyak anggota DPR.
Baca juga:
Pembahasan RUU TPKS Cukup Terbuka, DPR dan Pemerintah Diapresiasi
Tetapi ICJR memandang, ke depan masih harus diperbanyak diskusi dan dengar pendapat umum yang melibatkan Panja DPR dan Pemerintah dengan masyarakat.
“Dalam catatan ICJR, RDPU hanya dilakukan satu kali saja, hanya untuk empat organisasi, RDPU ini masih perlu ditingkatkan,” tukasnya.
Ketiga, penguatan perumusan kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan aturan yang masih berbahaya bagi korban dengan tidak dicabutnya Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Mengenai perumusan kekerasan berbasis gender online yang akan dibahas pada 4 April 2022, ICJR menyuarakan unifikasi (penyatuan,red) pengaturan tentang akses, penyebaran, transmisi konten pribadi seseorang di luar kehendak orang yang menjadi objek atau pun yang menerima konten.
Sehingga, tiga larangan tersebut bisa dilarang dalam RUU TPKS, yaitu perbuatan merekam, mengakses, menyebar, mentransmisikan konten pribadi seseorang atau kepada orang yang tidak berkehendak menerima.
Dengan unifikasi ini menurut Maidina, ketentuan penutup dalam Pasal 71 RUU TPKS juga dapat menghapus Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang larangan penyebaran konten melanggar kesusilaan.
“Karena pasal ini tidak lagi diperlukan dengan adanya ketentuan KUHP, UU Pornografi dan nantinya UU TPKS,” jelasnya.
Keempat, mengenai perumusan tindak pidana eksploitasi seksual yang perlu disinkronkan.
Pemerintah dan DPR telah menyepakati masuknya rumusan tentang eksploitasi seksual dalam RUU TPKS.
Baca juga:
Minta RUU TPKS Diperjelas, Baleg: Jangan Perkara Canda Jadi Saling Lapor
Sebelumnya, DIM pemerintah memasukkan tambahan perbuatan dalam bentuk pelecehan fisik persetubuhan dan perbuatan cabul atas dasar relasi kuasa dalam Pasal 6 huruf c DIM Pemerintah.
ICJR kata Maidina, merekomendasikan dengan dimasukkannya eksploitasi seksual, maka perbuatan yang dirumuskan Pasal 6 huruf c DIM (pelecehan fisik persetubuhan dan perbuatan cabul atas dasar relasi kuasa) Pemerintah tidak perlu dimasukkan, apalagi dikategorikan sebagai pelecehan seksual fisik.
Kelima, dalam ketentuan peralihan, perlu memasukkan aturan mengenai pemberlakuan segera ketentuan hukum acara dan perlindungan korban.
Perlu ditekankan untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan dengan UU yang ada saat ini, ketentuan hukum acara dan hak korban mengikuti UU TPKS yang baru ini.
Konsep sejenis diatur dalam Pasal 102 ketentuan peralihan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pada saat UU tersebut telah berlaku, hukum acara perkara yang sudah masuk penyidikan akan diselesaikan dengan UU baru, namun tidak untuk perkara yang sudah masuk persidangan.
“Hal ini penting diakomodasi untuk menjamin kepentingan kemudahan korban, namun tidak untuk berlakunya delik/tindak pidana,” tukasnya. []