News Selasa, 12 Maret 2024 | 18:03

Pemilu 2024 Sarat Politik Transaksional, KOPEL: Dewan Tak Akan Berpikir Nasib Masyarakat

Lihat Foto Pemilu 2024 Sarat Politik Transaksional, KOPEL: Dewan Tak Akan Berpikir Nasib Masyarakat Koordinator KOPEL Indonesia Anwar Razak. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

MEDAN - Pemilu 2024 hampir tuntas. Para anggota dewan terpilih di berbagai daerah dan pusat sepertinya sudah bisa diakses oleh publik secara luas.

Jika proses politik dan proses hukum pemilihan berlangsung dengan lancar dan sesuai jadwal, maka para anggota dewan di berbagai tingkatan itu akan dilantik tahun ini.

Lalu apakah mereka akan berpikir untuk kepentingan masyarakat ketika dilantik dan duduk periode 2024-2029?

Konon mayoritas di antara para dewan terpilih dimaksud melakukan politik transaksional ketika menjelang pemungutan atau pencoblosan pada 14 Februari 2024 lalu.

Misalnya untuk di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, terkenal luas dengan sebutan togu-togu ro (TTR) dari para caleg kepada pemilih mereka. 

Mulai dari pemberian TTR berupa uang Rp 200 ribu hingga Rp 400 ribu per pemilih. 

BACA JUGA: Soal Pemilu 2024, JK: Terburuk dalam Sejarah Indonesia Sejak 1955

Koordinator Koalisi Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia, Anwar Razak dalam keterangan tertulis pada Selasa, 12 Maret 2024, mengakui praktik transaksional marak pada Pemilu 2024.

"Iya. Memang politik uang masih sangat marak di banyak daerah. Bahkan di hampir semua daerah, termasuk Sumut. Selain pemberian uang, juga ada pemberian berupa barang seperti souvenir, jilbab, beras, minyak goreng, telur dll," katanya. 

Dia menyebut, masih sangat kental money politik dan transaksionalnya yang bahkan sangat terbuka karena caleg dapat menyebutnya sebagai bagian dari alat sosialisasi. 

"Semakin parah menurut saya. Caleg-caleg semakin menggila dan Bawaslu tidak berdaya," ujarnya.

Razak pun mengaku pesimistis untuk perbaikan demokrasi di Tanah Air melihat kondisi tersebut. 

"Saya kira harapan untuk ada perbaikan terhadap demokrasi sangat kecil. Dampak ke depannya pun tidak banyak bisa diharap. Dalam artian kinerja anggota dewan daerah tidak akan maju-maju. Akan lebih banyak yang bekerja karena tuntutan partai dan bukan mewakili masyarakat," tukasnya. 

Disebutnya, DPRD ke depan orientasi kerja lebih banyak untuk memenuhi tuntutan tim-tim sukses mereka. Tidak pada masyarakat umum yang ada di dapilnya, karena tujuan hanya ingin terpilih kembali. Itu bagi yang sedikit sadar akan perlunya memelihara tim-tim sukses. 

"Bagi mereka yang sudah sangat transaksional, mereka tidak akan pernah berpikir lagi soal nasib masyarakat di dapilnya, karena pikirnya urusan  sudah selesai," tandasnya.

Dengan demikian kata dia, sangat sulit berharap ada perbaikan pada kinerja anggota DPRD yang berdampak pada kemajuan daerah. Apalagi berharap ada anggota DPRD yang bekerja melayani rakyat. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya