Jakarta - Anggota Komite I DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) dalam tahap awal masa sidang ini.
Penrad menyatakan bahwa RUU tersebut jauh lebih mendesak daripada undang-undang lainnya yang akan diinisiasi oleh Komite I DPD RI.
"Lebih baik kita mendorong pengesahan cita-cita dan semangat dari masyarakat hukum adat yang sudah lama menantikan ini," ujar Penrad dalam rapat yang berlangsung di Ruang Rapat Komite I DPD RI, Selasa, 15 Oktober 2024.
Penrad menyoroti berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terkait status ulayat dan hak-hak masyarakat adat yang belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang memadai.
"Mungkin ibu/bapak sekalian juga mengetahui kasus-kasus yang terjadi di republik ini akibat status ulayat, komunitas, maupun hukum adat tidak mendapatkan alas hak yang sebenarnya di negeri ini," jelasnya.
Menurut Penrad, masyarakat hukum adat memiliki peran penting dalam sejarah dan kebudayaan bangsa, sehingga hak-hak mereka harus menjadi prioritas di masa sidang ini.
Ia menegaskan bahwa naskah akademik terkait UU Masyarakat Hukum Adat sudah lengkap dan tersedia, baik dari berbagai versi maupun yang disiapkan oleh pemerintah.
"Kalau soal ketersediaan naskah akademik, Undang-undang masyarakat hukum adat itu sudah lama sekali dan lengkap," lanjut Penrad.
Ia pun menekankan bahwa alasan administrasi tidak boleh menjadi penghalang untuk segera mengesahkan undang-undang tersebut, yang telah lama dinantikan oleh masyarakat adat.
Penrad mengajak seluruh anggota DPD RI untuk bekerja keras memenuhi aspirasi masyarakat adat dan memastikan hak-hak mereka diakui dan dilindungi melalui UU tersebut.
RUU Tata Ruang
Lebih lanjut, Penrad juga menegaskan tentang pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Ruang sebagai solusi atas tumpang tindih lahan yang sering terjadi di Indonesia.
Menurutnya, masalah tata ruang di negeri ini sudah menjadi fenomena yang mendesak untuk segera diatasi karena banyak rakyat yang menjadi korban ketidakpastian status kepemilikan lahan akibat kebijakan tata ruang yang masih carut marut.
Penrad menyebutkan, sering kali masyarakat harus menghadapi masalah pertanahan yang tumpang tindih, di mana lahan yang mereka miliki dimasukkan sebagai hutan atau diambil alih oleh korporasi besar dengan hak guna usaha (HGU).
“Sangat urgent karena carut marut penataan ruang di Indonesia. Banyak kasus pertanahan tumpang tindih yang mengakibatkan status kepemilikan tidak jelas sehingga banyak rakyat yang menjadi korban," tegasnya.
Dia melanjutkan bahwa penataan ruang yang belum jelas sering kali menyebabkan lahan pertanian rakyat diubah statusnya menjadi kawasan hutan, yang kemudian diambil alih oleh perusahaan besar.
Hal itu disampaikannya merespons data Kementerian ATR/BPN terdapat 2.500 desa masuk kawasan hutan.
Penrad memaparkan bahwa kasus seperti ini bukan hal baru, namun telah berlangsung lama dan terjadi di banyak wilayah di Indonesia.
“Kasusnya bukan hanya satu atau dua, melainkan banyak sekali," ujar Penrad, menekankan bahwa pengesahan RUU Tata Ruang sangat dibutuhkan untuk memberikan kejelasan atas status lahan dan melindungi hak masyarakat, terutama petani kecil, dari perampasan lahan secara sepihak oleh korporasi besar.
RUU Tata Ruang diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih adil dan transparan, memastikan bahwa penataan ruang di Indonesia tidak hanya berpihak pada kepentingan bisnis besar tetapi juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas.
Pandangannya, apabila tidak segera ditangani, masalah ini akan terus merugikan rakyat dan menciptakan ketidakpastian hukum di sektor agraria.
Penrad mendorong pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat dan Penataan Ruang menjadi prioritas legislasi DPD RI periode ini.[]