Pilihan Rabu, 10 September 2025 | 10:09

Raja Manggale dalam Pertunjukan

Lihat Foto Raja Manggale dalam Pertunjukan Marfenas Marolop Sihombing yang akan membawakan monolog Manggale. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Ditulis: Riduan Situmorang

Batak punya banyak legenda. Mereka punya kecerdasan sendiri untuk memvisualisasikan segala sesuatu. Akhirnya, setiap benda punya cerita dan narasinya. Setiap tempat punya kisah. Termasuk Sigale-gale. Secara harafiah, Sigale-gale berarti lemah dan tak berdaya. 

Saat ini, masyarakat sudah banyak mengenal Sigale-gale. Sudah menjadi bagian pariwisata. Sigale-gale adalah buah kecerdasan seni rupa-pahat dari Samosir. Jadi, Sigale-gale dapat diimajinasikan sebagai milik Samosir secara khusus dan Batak secara umum. 

Uniknya Sigale-gale membuat banyak seniman terinspirasi untuk mengangkatnya sebagai pertunjukan kreativitas. Salah satu seniman yang berhasil membawanya sampai ke pusat ibu kota Jakarta adalah Marfenas Marolop Sihombing.

Ia seorang seniman lulusan FBS-Unimed jurusan seni rupa. Namun, ia menghormati pertunjukan dan literasi. Maka, sejak 2016, ia mulai totalitas pada pertunjukan teater dan penyutradaraan. Sejatinya, sejak SMA, ia juga sudah memilih teater sebagai passionnya.

Passion ini ia tekuni dan akhirnya tidak lagi sebatas pemeran atau aktor. Ia sudah menjadi penulis atas naskah yang akan ia pertunjukkan. Ia sudah mencoba menjadi sutradara atas pertunjukan yang akan ia tampilkan. Per hari ini, ia sudah menuliskan 3 buku cerita anak.

Ia adalah seorang guru. Ia berdedikasi penuh sebagai guru. Berkali-kali, ia membawa siswanya ikut pertunjukan. Ia juga sudah sering menjadi narasumber kebudayaan dan kesenian di radio atau televisi. Hobi yang ditekuni pelan-pelan menjadi semangat dan passion hidup.

Pada 13 September ini, ia akan mengangkat pertunjukan tunggal. Pertunjukan itu terinspirasi dari cerita Manggale. Diketahui, konon pada suatu masa, hiduplah seorang raja. Namanya Raja Rahat. memimpin negerinya dengan bijaksana. Sayangnya, istri Raja Rahat sudah lama meninggal dunia.

Raja hanya punya seorang anak laki-laki, bernama Manggale. Manggale seharusnya menjadi penerus nama pada budaya patrilineal Batak. Namun, Manggale tidak bisa meneruskan nama itu. Ia mati dalam peperangan. Ayahnya pun frustasi. Ia tak kuasa menahan sedih. 

Akhirnya, warga membuat sebuah rencana penghiburan. Para cerdik pandai diundang. Mereka memahat patung persis seperti wajah Manggale. Dukun dilibatkan. Ia bertugas memasukkan roh Manggale pada patung yang sudah dipahat. Patung itu menjadi "hidup". Raja Rahat kembali punya hidup. 

Setiap kali ia rindu, ia akan menari bersama patung pahatan itu. Patung tak lagi sebatas karya seni. Patung itu menjadi media untuk mengungkapkan rindu, mengekspresikan rasa, melonggarkan ruang, dan menggenapi ritual puncak adat di masa paling akhir: kematian.

Sebagai seniman pertunjukan, monolog Manggale ini turut didukung oleh berbagai seniman lainnya. Sastrawan Raudah Jambak menjadi sutradara. Pertunjukan ini sendiri difasilitasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Medan. Pertunjukan ini menjadi ruang ekspresi kesenian. []

Penulis adalah Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF).

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya