Deli Serdang - Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait meminta pemerintah atau negara menggerakkan perlindungan anak secara masif, seperti layaknya melawan virus Covid-19.
Arist menyebut, jumlah pelanggaran hak anak dan beragamnya modus operandi kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan. Jika hal ini dibiarkan masa depan anak Indonesia akan hancur, rusak, dan dimungkinkan bangsa ini akan kehilangan generasinya.
Dikatakannya, sejumlah kasus pelanggaran hak anak yang dilaporkan kepada Komnas PA yang masuk kategori mengerikan dan di luar akal sehat manusia.
Ada banyak peristiwa, anak menjadi korban mutilasi, korban kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, serangan persetubuhan dalam bentuk hubungan seksual sedarah (incest), korban perbudakan seks, dan korban eksploitasi seksual komersial.
"Banyak anak menjadi korban penelantaran, penculikan, dan perdagangan untuk tujuan adopsi ilegal, eksploitasi ekonomi, pemulung, peminta-minta di jalanan bahkan ada banyak anak tinggal di rumah-rumah bordir untuk tebusan dan membayar utang orang tua korban," katanya dalam laporan akhir tahun Komnas PA, Selasa, 4 Januari 2022 di Deli Serdang, Sumatra Utara.
Banyak pula anak hidup dalam ketidakpastian, kekurangan dan miskin, ratusan ribu anak menjadi yatim piatu akibat epidemi virus Covid-19 tanpa dicarikan keluarga pengganti atau alternatif yang pada akhirnya dimungkinkan menjadi korban penelantaran, perdagangan orang, dan tindak pidana lainnya.
Baca juga: Paksa Anak Tuli Bicara, Tri Rismaharini Diprotes Penyandang Tunarungu
Ribuan anak tinggal di daerah-daerah terpencil dan terisolasi, tidak tersentuh program pembangunan, dan tidak mempunyai akses terhadap informasi, pendidikan, dan kesehatan. Banyak anak kehilangan keteladanan di lingkungan rumah maupun lingkungan sosial anak.
"Ada ayah dan ibu di rumah namun secara emosional tiada. Artinya rumah tidak lagi bersahabat bagi anak dan anak kehilangan orientasi dalam keluarga," tukasnya.
Dalam kondisi ini dan demi masa depan anak dan kepentingan terbaik anak, Arist Merdeka mendesak, sudah tiba saatnya masalah anak dan pelanggarannya menjadi masalah bersama (common issue) setara dengan gerakan nasional melawan epidemi virus corona.
Gerakan perlindungan anak dengan melibatkan semua orang dan komunitas, baik melibatkan anak-anak orang tua, masyarakat, pemerintah, alim ulama, jurnalistik, politisi, stakeholder perlindungan anak, aparatur negara, polisi, jaksa, pengadilan dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di seluruh nusantara.
"Jika untuk membangun gerakan nasional melawan Covid-19 ada badan WHO, untuk gerakan perlindungan anak ada UNICEF, dengan demikian untuk isu anak bisa dilakukan setara dengan gerakan melawan Covid-19," katanya.
Kepastian Hukum
Untuk memberikan kepastian hukum bagi anak sebagai korban, kepastian penanganan secara cepat dan adil, sudah saatnya Kapolri meningkatkan subdirektorat Perlindungan Anak dengan meningkatkan menjadi Direktorat Perlindungan Anak Perempuan yang berada di tingkat Polda dan Mabes Polri.
Bagi penyidik Polri diharapkan, dan aparatur negara lainnya menerapkan UU No. 17 Tahun 2016 tentang penerapan Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta PP No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Laksana Kebiri Suntik Kimia dan PP No. 77 tentang perlindungan hukum bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Juga untuk memberikan perlindungan yang memadai, sudah perlu dipikirkan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak agar menjadi produk hukum yang sungguh-sungguh melindungi anak.[]