Jakarta - Beredar beberapa poster memuat wajah Arist Merdeka Sirait dengan ragam tuduhan yang cukup seram, seperti pelaku predator hukum dan melakukan korupsi keuangan organisasi Komnas Perlindungan Anak.
Poster-poster tersebut dipajang atau dilengketkan di sejumlah pohon tak jauh dari kantor Pengadilan Negeri (PN) Malang, Jawa Timur pada Jumat, 12 Agustus 2022.
Kejadian itu berlangsung saat sidang replik yang diajukan jaksa penuntut umum atau JPU Kejaksaan Negeri (Kejari) Batu Malang, atas kasus kejahatan seksual terdakwa Julianto.
Kasus ini sendiri akan memasuki fase putusan majelis hakim dua pekan mendatang setelah sidang pembacaan duplik nantinya disampaikan penasehat hukum terdakwa.
Arist Merdeka yang hadir di lokasi mengatakan, poster-poster itu merupakan bukti kekalutan dan kepanikan pihak yang menyebarkan.
Dengan cara menebar fitnah dan kebohongan melalui poster berjudul Wanted dan foto wajah Arist Merdeka di mana pada bagian mata ditutup plester.
Dia menyebut, sebagai aktivis pembela korban dan Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, lebih senang jika poster-poster itu dicetak sebanyak-banyaknya dan dipasang di sepanjang jalan PN Malang dan di pusat-pusat keramaian Kota Malang.
Bila perlu dipajang pula di pusat kota atau di alun-alun Kota Malang, agar semua penduduk Kota Malang mendapat informasi dan semakin mengetahui bahwa Julianto adalah predator kekerasan seksual yang patut dihukum.
"Dan saya Ketua Komnas Perlindungan Anak semakin dikenal masyarakat sebagai pembela korban," katanya dalam keterangan tertulis diterima Opsi, Sabtu, 13 Agustus 2022.
Dalam poster, Arist disebut sebagai pembela predator kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan guru TK di Jakarta International School (JIS). Faktanya kata Arist, dialah pembela dan pendamping korban dan keluarganya.
"Sumber kebohongan ini berasal dari mana kalau bukan dari penasihat hukum terdakwa Julianto seperti yang disampaikan di berbagai acara podcast," terangnya.
Dia juga dituduh menggelapkan uang lembaga. Ini kata Arist sebuah kebohongan publik. Karena menurutnya, dirinyalah yang menyelamatkan keuangan lembaga dan tidak pernah bermasalah dengan keuangan lembaga sejak memimpin Komnas Perlindungan Anak.
Di dalam poster itu juga disebutkan, Arist selama menghadiri sidang dan mendampingi korban di pengadilan tinggal di hotel mewah.
Baik saat praperadilan di PN Surabaya maupun dalam menghadiri sidang-sidang di PN Malang.
Baca juga:
Arist Merdeka Minta Gerakan Perlindungan Anak Seperti Melawan Corona
"Lha, siapa yang melarang saya tinggal di hotel," katanya. "Di bulan dan di matahari sekalipun saya berhak menginap di sana. Ada-ada saja. Emangnya sekalipun kita ini pembela korban tak boleh nginap di hotel yang kita suka. Oi, ada-ada saja, sudah gila rupanya dia, panik kali ya," ungkapnya lagi.
Poster yang menyebut dirinya sebagai predator hukum, dan mencari popularitas atas kasus Julianto agar viral.
"Oi ngeri kali bah. Mereka tidak tahu saya itu sudah urus Komnas Perlindungan Anak lebih kurang 30 tahun. Selama kerja membela anak khususnya anak sebagai korban, saya tidak pernah mempunyai masalah. Tak pernah menggelapkan uang atau korupsi seperti yang dituduhkan kepada saya, apa yang mau dikorupsi, uang lembaga saja tidak ada. Haha...fitnah itu bung," tukasnya.
Baca juga:
Profil Arist Merdeka Sirait, Pembela Hak Anak Indonesia
Arist mengaku, selama mendampingi kasus anak di Indonesia tidak pernah memiliki masalah, seperti melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan melawan hukum.
Tidak pernah merendahkan harkat dan martabat, hak anak, dan perempuan. Tidak pernah tersangkut tindak pidana dan pelanggaran hak anak.
Tidak pernah melakukan kekerasan kepada anak dan istri, apalagi kepada orang lain. "Itu dapat dicek di berbagai sumber informasi," katanya.
Tuduhan di poster menyebut, informasi dari Seto Mulyadi bahwa Komnas Perlindungan Anak adalah ilegal dan bekerja hanya mencari uang, menurut Arist ini tuduhan keji dan tak bermartabat.
Kata dia, Komnas Perlindungan Anak didirikan pemerintah melalui SK Mensos dan Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM.
Gedung sekretariat bahkan sampai hari diberikan pinjam pakai untuk penanganan dan pembelaan terhadap kasus anak.
Untuk menjalankan kegiatannya juga dilakukan nota kesepahaman dengan berbagai lembaga resmi.
"Jadi tidak benar Komnas Perlindungan Anak organisasi ilegal. Sekali lagi, itu tuduhan keji dan tak bermartabat. Itu semua kebohongan hanya karena mengalihkan perkara kasus kekerasan seksual yang tinggal menunggu keputusan hakim. Julianto, pengacaranya, dan orang terdekat Julianto sedang panik dalam menghadapi putusan majelis hakim PN Malang," ungkapnya.
Arist berharap majelis hakim PN Malang untuk mengabulkan tuntutan JPU terhadap Julianto, dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan subsider Rp 300 juta dengan kurungan 6 bulan dan hak restitusi Rp 47 juta.
Kasus Julianto
Kekerasan seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Kota Batu, Malang, diduga dilakukan Julianto Eka Putra.
Julianto merupakan seorang motivator dan pemilik SPI. Diduga belasan wanita menjadi korban aksi bejatnya.
Julianto dilaporkan atas kasus dugaan kekerasan seksual oleh Komnas Perlindungan Anak ke Polda Jatim pada 29 Mei 2021.
Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait menduga Julianto melakukan pelecehan terhadap para siswi sejak tahun 2009.
Kasus ini terungkap saat seorang siswi berinisial S mengaku menjadi korban pemerkosaan oleh Julianto hingga 15 kali sejak sekolah didirikan. Namun S tidak berani melapor karena takut dengan sosok Julianto.
Belakangan S tahu ada belasan korban lainnya, yang merupakan kakak dan adik kelasnya. Kabarnya korban bahkan sampai puluhan siswa.
Tahun 2021, S bersama korban lain melapor ke Komnas PA. Mereka berani setelah mendapatkan bukti rekaman CCTV sebelum Julianto memperkosa korban lain.
“Jadi suatu hari ada rekaman CCTV di hotel milik JE yang memperlihatkan JE masuk ke salah satu kamar. Di kamar tersebut ada kakak kelas kami, dan dia mengaku diperkosa. Dari rekaman itu akhirnya kami memberanikan melapor ke Komnas PA,” jelas S, dilansir dari suara.com, Sabtu, 13 Agustus 2022.
Pelaku dilaporkan pada 29 Mei 2021. Namun berkas perkaranya baru disidangkan pada Februari 2022. Meski berstatus tersangka, Julianto tidak ditahan pihak berwenang.[]