Jakarta - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyebut, penempatan Irjen Pol Ferdy Sambo di Mako Brimob adalah untuk melancarkan proses pemeriksaan inspektorat khusus maupun tim khusus.
Hal itu dikatakan Sugeng dalam keterangan tertulisnya diterima Opsi, Minggu, 7 Agustus 2022.
Advokat senior itu mengatakan, pemeriksaan saat ini diketahui adalah terkait dengan pelanggaran kode etik berat, yaitu merusak tempat kejadian perkara atau TKP. Kemudian menghilangkan barang bukti, pistol, proyektil, dll.
"Untuk pelanggaran kode etik, Ferdy Sambo dapat dipecat. Dalam pelanggaran kode etik tersebut juga termasuk perbuatan pidana, yaitu melanggar Pasal 221 KUHP Juncto Pasal 233 KUHP dan diancam 4 tahun penjara," katanya.
Sugeng mengatakan, bila terdapat juga perbuatan menyuruh mengambil CCTV yang bukan miliknya, maka dapat juga dikenakan Pasal 362 KUHP Juncto Pasal 56.
"Ancamannya lima tahun. Sehingga bisa ditahan untuk kepentingan menunggu pemeriksaan perkara pokok matinya Brigadir Yosua yang diusut dengan Pasal 338 KUHP Juncto 55 dan 56 KUHP," tandasnya.
Diketahui, Irjen Pol Ferdy Sambo dibawa ke Mako Brimob dan ditahan di Provos pada Sabtu, 6 Agustus 2022 malam.
Baca juga:
Datangi Bareskrim, Pengacara Nyerah Urusi Kasus Hukum Bharada E
Mabes Polri mengamankan Ferdy Sambo karena melanggar kode etik. Dia disebut mengambil CCTV dari di lokasi kejadian tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
"Irjen Pol Ferdy Sambo diamankan karena diduga melakukan pelanggaran terkait menyangkut ketidakprofesionalan di dalam olah TKP," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu 6 Agustus 2022 malam.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md lewat akun media sosial Instagram @mohmahfudmd pada Sabtu malam, mengatakan pelanggaran etik dan pelanggaran pidana itu bisa sama-sama jalan. Tidak harus saling menunggu dan tidak bisa saling meniadakan.
Baca juga:
Sosok Sarmauli Simangunsong, Pengacara yang Ngotot Brigadir J Tersangka Pelecehan
"Artinya, kalau seseorang dijatuhi sanksi etik bukan berarti dugaan pidananya dikesampingkan. Pelanggaran etik diproses, pelanggaran pidana pun diproses secara sejajar," terangnya.
Contohnya kata Mahfud, dulu kasus Akil Mochtar di MK, ketika ditahan karena sangkaan korupsi setelah di-OTT maka tanpa menunggu selesainya proses pidana, pelanggaran etiknya diproses dan dia diberhentikan dulu dari jabatannya sebagai hakim MK melalui sanksi etik.
"Itu mempermudah pemeriksaan pidana karena dia tidak bisa cawe-cawe di MK," ujarnya.
Disebutkan, beberapa lama setelah sanksi etik dijatuhkan, barulah dijatuhi hukuman pidana. Pemeriksaan pidana itu kata Mahfud, lebih rumit sehingga lebih lama dari pemeriksaan pelanggaran etik.
"Jadi publik tak perlu khawatir, penyelesaian masalah etika ini malah akan mempermudah percepatan pemeriksaan pidananya, jika memang ada dugaan dan sangkaan tentang itu," tandasnya. []