News Selasa, 20 September 2022 | 10:09

Gereja Ditolak di Cilegon, Chrisman Damanik: Jangan Biarkan Jadi Isu yang Membesar

Lihat Foto Gereja Ditolak di Cilegon, Chrisman Damanik: Jangan Biarkan Jadi Isu yang Membesar Chrisman Damanik. (Foto: Opsi)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pendirian dan pembangunan rumah ibadah di luar agama Islam di Kota Cilegon, Banten, belum bisa berjalan sebagaimana mestinya. Penolakan oleh warga dan pemerintah di sana masih berlangsung.

Meski pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah.

Teranyar adalah kasus penolakan pendirian gereja HKBP Maranatha Cilegon. Hal itu ditandai aksi unjuk rasa belasan orang ke gedung DPRD Cilegon pada 7 September 2022.

Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta bahkan ikut meneken pernyataan menolak pembangunan gereja di sebuah kain yang dibawa massa saat itu.

Aksi kepala daerah tersebut kemudian mendapat sorotan dari banyak pihak. Karena dinilai justru merobek toleransi dan melanggar konstitusi.

Pengamat hukum Chrisman Damanik menilai persoalan toleransi kerukunan beragama ini harus menjadi poin penting diperhatikan oleh seluruh elemen bangsa.

Sejarah panjang negara ini menurut eks Ketua Umum GMNI tersebut, lahir dari keanekaragaman suku, budaya, dan agama, yang kemudian menjadi satu kekuatan bersama, untuk sampai hari ini tetap menjadi satu bangsa dan satu negara. 

Dia lalu menyorot kasus di Cilegon, bagaimana kejadian tersebut kemudian tidak menjadi isu yang membesar. 

Ditegaskan Chrisman, UUD 45 NKRI secara jelas mengatur tentang kemerdekaan dan menjamin tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya.

"Itu oleh karenanya tugas negara bukan saja untuk menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk beribadah, tapi juga menjamin setiap warga negara untuk melakukan ibadahnya," kata Chrisman saat menjadi pembicara dalam dialog Opsi Media TV pada Senin, 19 September 2022 sore.

Artinya menurut dia, bukan cuma setiap orang harus punya agama atau meyakini suatu agama, tapi negara harus menjamin juga bahwa setiap warga negara dalam melaksanakan ibadahnya, bebas untuk melaksanakan ibadahnya tersebut.

Semua itu kata dia, dalam satu konteks bahwa kita adalah satu bangsa yang bertuhan. Pancasila sebagai ideologi negara, Ketuhanan Yang Maha Esa itu memerintahkan atau menjamin bahwa setiap warga negara itu adalah orang yang bertuhan, yang bebas melaksanakan ajaran agamanya dan beribadah menurut ajaran agama yang dipeluknya.

Turunan dari undang-undang dasar itu menurut dia, tentu dibentuk undang-undang dan aturan-aturan baku lainnya yang menjadi petunjuk teknis.

Baca juga:

TAMPAK Sebut Penolakan Pembangunan Gereja HKBP di Cilegon adalah Tragedi

Dalam pelaksanaannya, setiap orang merdeka beribadah. Persoalannya muncul ketika ada hal-hal yang tidak dipenuhi seperti kasus gereja di Cilegon, menyangkut syarat-syarat pendirian rumah ibadah. 

"Cuma kembali lagi pertanyaannya, apakah hukum itu kemudian hanya bisa mengatur hal demikian saja," tukasnya.

Chrisman menegaskan, hukum mengatur tiga hal. Pertama kepastian hukum, kedua tentang keadilan, dan ketiga tentang kemanfaatan. 

Kalau kemudian mengacu pada PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mengatur tentang salah satunya pendirian rumah ibadah, ini menurut dia, menjadi payung hukum untuk melakukan upaya berdirinya rumah ibadah.

Selain dibuat syarat-syarat untuk melakukan atau mendirikan rumah ibadah, tapi juga ada hal lain yang diperintahkan di dalam peraturan tersebut.

Baca juga:

Gereja Ditolak di Cilegon, Ketum Pemuda Muhammadiyah: Jangan-jangan Kita Tidak Bertuhan

Bagaimana kepala daerah pada setiap tingkatannya itu bertugas untuk melakukan harmonisasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Kembali lagi tadi saya sampaikan bahwa harusnya kan ini bisa digunakan oleh pemerintah dalam hal melakukan, kita taruhlah sinkronisasi atau harmonisasi di dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Kalau memang kemudian belum memenuhi syarat yang diatur di dalam peraturan menteri bersama itu," tukasnya. 

"Harusnya kepala daerah atau pimpinan di situ atau pihak-pihak terkait mencari solusi. Karena hukum yang kita gunakan adalah bagaimana keadilan dan kemanfaatan itu bisa dirasakan oleh setiap warga negara," sambung dia.

Chrisman mengingatkan, hukum adalah instrumen-instrumen untuk kemudian warga negara dapat melakukan atau memperjuangkan hak-haknya.

Supaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur, masyarakat yang tertib, masyarakat yang tidak tidak saling bergesekan satu dengan yang lain.

"Nah, sekarang persoalannya adalah ternyata belum memenuhi syarat di dalam PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, apakah kemudian dengan belum memenuhi syarat itu pemerintah hanya pasif menunggu.

Ketika kemudian harus memenuhi syarat, oh harus ada tanda tangan 60 orang dan tanda tangan 90 orang, kalau kira-kira belum memenuhi apakah kepastian hukum ini saja akan dipakai untuk mendirikan rumah ibadah. Sementara ketentuan di atasnya yang lebih tinggi, kalau kita menggunakan teori-teori piramidanya di dalam tata urutan peraturan perundang-undangan bahwa undang-undang dan undang-undang dasar menjamin tiap-tiap warga negara untuk kemudian beribadah," terangnya.

Disebutnya, beribadah di antara para pemeluk agamanya tinggal dilihat saja apakah syarat-syarat yang lainnya bisa menjadi pendukung atau tidak untuk didirikan rumah ibadah, sehingga peran pemerintah bukan cuma melaksanakan regulasi, tetapi juga menciptakan satu harmonisasi dan sinkronisasi di dalam masyarakat.

"Ini peran penting, karena negara hadir bukan untuk untuk hanya sekadar kepentingan satu kelompok atau dua kelompok," kata Chrisman. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya