Jakarta - Borobudur Writers & Cultural Festival menggelar workshop jurnalisme arkeologi berupa field trip dan penyampaian materi serta diskusi selama lima hari.
Dilaksanakan sebagai upaya mengangkat peradaban kuno ke dalam bahasa kekinian terutama bagi generasi milenial.
Kegiatan berlangsung sejak 16 - 21 Desember 2022 di Situs Liyangan kuno dan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Jumlah peserta 30 orang berasal dari berbagai kota, antara lain Bojonegoro, Yogyakarta, Temanggung, Jakarta, Bali, Riau, hingga Pematang Siantar dari Kawasan Danau Toba.
Materi yang diberikan berupa pengetahuan arkeologi juga aplikasi dari berbagai disiplin ilmu yang menambah daya dukung informasi situs dan heritage.
Pematerinya antara lain Sugeng Riyanto (Arkeolog), Chris Dharmawan (Arsitek, Pemilik Galeri Semarang dan Museum Peranakan Tionghoa di Parakan).
Ahmad Arif (Jurnalis Kompas), Dwi Cahyono (Arkeolog, Jurnalis Kliktimes), Chandra Gautama (Penerbit KPG Gramedia), Fendi Siregar (Fotografi), Naswan (Film Dokumenter Muaro Jambi), dan Seno Joko Suyono (Redaktur Pelaksana Kebudayaan Majalah Tempo), pembuat Film Mahendraparvata).
Penasihat BWCF Bhante Budi Utomo Ditthi Sampanno menyampaikan pesan kepada peserta nilai-nilai peradaban masih ada dalam kehidupan tradisi.
Memiliki semangat yang sama dalam menata kehidupan, nilai tersebut juga termuat dalam agama Budha, hingga kini masih berlangsung di pedesaan.
"Agama Budha memiliki paham Bhineka Tunggal Ika, maka kita perlu menggali potensi tradisi lama kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakat Nusantara sekarang," katanya.
Baca juga: Road To West Java Festival 2023 Tampilkan Ragam Seni Budaya dan Ekraf Jawa Barat
Arkeolog Sugeng Riyanto mengungkap, situs Liyangan kuno ibarat segel alam dari `letusan gunung Sindoro` yang terbuka sejak penambangan pasir tahun 2008. Petani beralih pekerjaan menjadi penggali pasir sebab hasil pertanian tidak memadai.
Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta memperlihatkan kehadiran artefak mulai dari abad ke-2 Masehi, terbukti dari temuan batu dan struktur candi, gerabah, peralatan tradisional, tinggalan butir padi dan kayu rumah, hingga dating carbon.
Hingga akhirnya tempat itu terkubur oleh muntahan lahar Gunung Sindoro yang meletus besar pada abad ke-11.
Liyangan telah menjadi hunian selama ratusan tahun, mengalami fase prasejarah dan Hindu- Budha.
Baca juga: 6 Sosok Penutur tentang Kekayaan Budaya, Alam, dan Kuliner Samosir
Chris Dharmawan, arsitek dan kolektor yang membeli rumah Siek Kiem Tan dalam keadaan terbengkalai, dengan sebagian dinding rumah yang penuh lumut, terkelupas di sana sini, dan banyak bagian yang tidak utuh lagi.
Tahun 2017, setelah proses konservasi selesai, dia memilih dan menata benda-benda koleksinya di rumah itu sehingga dapat menampilkan rumah dalam kondisi semirip mungkin dengan kondisi saat dulu masih dihuni.
Salah satu kegiatan workshop jurnalisme arkeologi berupa field trip pada 16-21 Desember 2022 di Situs Liyangan kuno dan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. (Foto: BWCF)
Jurnalis selain memahami pengetahuan arkeologi dan heritage, juga perlu dibekali berbagai metode, aplikasi teknologi, tampilan karya media dengan berbagai teknik dan cara terkini, sehingga pesan peradaban dapat sampai kepada publik terutama kalangan milenial.
Sultan Saragih, salah satu peserta dari Kawasan Danau Toba berharap kegiatan ini dapat berlanjut tahun berikutnya ke wilayah Sumatra sehingga semangat menggali peradaban Nusantara dapat kontinu dilakukan bersama-sama, saling bertukar informasi, selalu update sehingga terhubung satu sama lain bersama generasi milenial. [Sultan Saragih]