Jakarta - Bagi Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), keberadaan Pasal 137 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi, “Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”.
Prima pun menguji pasal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidangnya digelar Selasa, 24 Mei 2022. Panel Hakim dipimpin Isra Saldi, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.
Sidang perdana perkara nomor 57/PUU-XX/2022.
Kuasa hukum Prima, Fitrah Awaludin menegaskan, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Karena kata dia, ketentuan verifikasi faktual yang dibebankan pada partai politik nonparlemen seperti Prima, untuk memenuhi tahapan verifikasi parpol peserta Pemilu 2024 tidak adil.
Hal sama dilontarkan kuasa hukum lainnya, R Elang Y Mulyana.
Dia berujar, parpol yang telah lolos ambang batas perolehan suara minimal atau parliamentary threshold pada Pemilu 2019 lalu, merupakan partai yang telah mapan.
Relatif lebih unggul dalam kekuatan struktur, infrastruktur, dan finansial dibandingkan partai nonparlemen.
Dia menilai, perlakuan istimewa terhadap parpol tersebut memiliki konsekuensi adanya perbedaan kesiapan masing-masing parpol.
“Oleh karenanya, penetapan verifikasi parpol secara faktual tidak lagi relevan serta untuk menjamin kepesertaan parpol dalam pemilu yang diamanatkan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945," tandas Elang secara daring.
Maka itu kata dia, cukup jelas alasan bagi MK meninjau dan memperbaiki dengan menyatakan Pasal 173 Ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Sepanjang tidak dimaknai ‘Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik berbadan hukum dan telah lolos verifikasi administrasi oleh KPU`.
Baca juga:
Hasto Harap Parpol Utamakan Kepentingan Rakyat Jelang Pemilu 2024
Hakim MK Wahiduddin Adams menyampaikan agar pemohon memperhatikan dalil nebis en idem yang dinyatakan pada permohonan perkara ini yang seolah meminta MK meninjau dan memperbaiki kembali putusan terdahulunya terkait perkara serupa.
Pemohon kata Adams, diharapkan dapat membangun dan merekonstruksi dalil permohonan dan fokus pada perubahan Pasal 173 Ayat (1) UU Pemilu usai Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terdahulu.
Hakim MK Enny Nurbaningsih menyarankan Prima menjabarkan kedudukan hukum secara lebih rinci pihak dalam parpol, yang memiliki kewenangan untuk mewakili dalam persidangan sebagaimana AD/ART.
Prima juga dinilai belum menguraikan hak-hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 yang terlanggar akibat berlakunya norma yang telah diputus oleh MK tersebut.
“Jika bentuk pelanggarannya adalah mubazir, maka di mana letak kemubazirannya itu? Entah dalam bentuk pembentukan partai politik dan uraikan secara komprehensif,” jelas Enny.
Saldi Isra mencermati, perlu bagi pemohon untuk membaca putusan MK yang telah memberikan pemaknaan ulang dan diujikan kembali.
Hal ini perlu dipelajari agar pemohon dapat membuat penjelasan yang lebih baik lagi sehingga permohonan ini akan terhindar dari saling kontradiktif.
Hakim MK memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Prima melakukan perbaikan dan menyerahkannya selambat-lambatnya pada Senin, 6 Juni 2022. []