Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta bantuan keuangan bagi partai politik (parpol) yang memperoleh kursi di DPR dinaikkan sepuluh kali lipat, yakni Rp 10 ribu per suara sah.
"Ya idealnya paling tidak Rp 10 ribu per suara, sekarang kan cuma Rp 1.000," ujar Bendahara Umum PKS, Mahfudz Abdurrahman kepada wartawan, Sabtu, 24 Mei 2025.
Saat ini, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018, parpol tingkat pusat hanya mendapat bantuan keuangan sebesar Rp 1.000 per suara sah.
Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 5 ayat (1), yang merupakan hasil perubahan kedua atas PP Nomor 5 Tahun 2009.
Selain mengusulkan peningkatan dana dari APBN, Mahfudz juga menyarankan agar parpol diizinkan mendirikan badan usaha.
Menurutnya, hal ini penting untuk memperkuat kemandirian finansial partai dan mengurangi dominasi elite pemodal dalam proses politik.
"Ya itu sampai sekarang kan memang belum boleh ya (membentuk badan usaha) secara UU. Ya kalau itu bisa dilakukan juga cukup bagus dalam rangka untuk memperkecil tingkat dominasi oligarki dalam mendukung faktor keuangan di Pemilu atau Pilkada," jelas Mahfudz.
Ia menilai, ketergantungan parpol terhadap segelintir penyumbang justru membuka celah bagi intervensi oligarki dalam kebijakan partai.
Dengan memiliki badan usaha yang legal dan terkelola baik, partai dinilai bisa lebih independen dan akuntabel.
Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa parpol saat ini memang dilarang mendirikan badan usaha.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Bahtiar, dalam acara penyerahan bantuan politik di kantor DPP Gerindra, Jakarta Selatan, Rabu, 21 Mei 2025.
"Partai politik tidak boleh mendirikan badan usaha, hanya berdasarkan iuran anggota sumbangan," kata Bahtiar.
Namun ia juga membandingkan situasi di negara lain. "Di negara-negara demokrasi maju, Pak Mendagri baru pulang Minggu lalu dari Jerman, termasuk diundang di sana, partai politik boleh mendirikan badan usaha," ujarnya.
Bahtiar menambahkan, bahkan organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia diperbolehkan memiliki badan usaha. Karena itu, ia mempertanyakan mengapa parpol justru dilarang.
"Ormas yang sekarang boleh kok mendirikan badan usaha, kenapa partai politik tidak boleh? Toh manajemennya berbeda, cuma kapabilitas saja," jelasnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya aturan khusus terkait pencatatan aset partai dalam UU Parpol tahun 2011.
Hal ini menurutnya membuat partai politik kesulitan dalam menjalankan sistem keuangan yang transparan.[]