Jakarta — Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyoroti kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif dagang resiprokal sebesar 32 persen terhadap Indonesia, efektif mulai 1 Agustus 2025.
Anis menilai kebijakan tersebut akan berdampak langsung pada barang ekspor unggulan Indonesia ke Negeri Paman Sam.
“Kebijakan resiprokal yang diterapkan AS terhadap sejumlah negara termasuk Indonesia memberikan dampak signifikan. Setidaknya barang ekspor unggulan Indonesia ke AS akan menjadi lebih mahal,” ujar Anis di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 8 Juli 2025.
Legislator Fraksi PKS ini memaparkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke AS pada 2024 tercatat sebesar 28,1 miliar dolar AS, sedangkan impor dari AS hanya sekitar 10,2 miliar dolar AS. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia dengan AS surplus sekitar 17,9 miliar dolar AS.
“Sebaliknya, dari perspektif AS, ini tercatat sebagai defisit perdagangan sebesar 17,9 miliar dolar AS dengan Indonesia, karena impor AS dari Indonesia lebih banyak dibandingkan ekspor ke negara yang sama,” jelasnya.
Anis menambahkan, persentase perdagangan dengan AS terhadap total perdagangan Indonesia sekitar 8,1 persen. Kenaikan tarif impor sebesar 32 persen, menurutnya, berpotensi menurunkan volume dan nilai perdagangan kedua negara.
Meski begitu, Anis menekankan adanya peluang yang bisa dioptimalkan pemerintah.
“Dengan adanya peningkatan tarif masuk ke AS, dapat mendorong pelaku usaha untuk mendiversifikasi pasar ekspor baru. Indonesia dapat menyasar pasar-pasar baru seperti Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika,” ujarnya.
Ia juga menilai kebijakan tersebut dapat mendorong penguatan industri domestik.
“Jika barang AS juga dikenakan tarif tinggi oleh Indonesia, maka produk lokal lebih bisa bersaing di pasar dalam negeri. Substitusi impor sangat mungkin terjadi, ini peluang bagi UMKM untuk meningkatkan market value-nya,” lanjutnya.
Selain itu, Anis optimistis kebijakan ini membuka ruang negosiasi dagang baru. “Kebijakan reciprocal tariffs dapat memicu perundingan dagang bilateral baru sehingga terbuka peluang untuk kesepakatan baru,” ungkapnya.
Anis meminta pemerintah untuk segera merumuskan langkah strategis. “Pemerintah perlu menyikapi kondisi ini dengan kebijakan yang tepat dan sesuai dengan potensi yang dimiliki Indonesia,” pungkasnya.[]