News Selasa, 20 September 2022 | 12:09

Banyak Kepala Daerah Takut terhadap Kelompok Intoleran Meski Jumlahnya Kecil

Lihat Foto Banyak Kepala Daerah Takut terhadap Kelompok Intoleran Meski Jumlahnya Kecil Ketua Umum Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma. (Foto: Opsi)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Banyak kepala daerah di Indonesia takut terhadap kelompok intoleran yang sebetulnya jumlahnya kecil. Mereka ini misalnya menyuarakan penolakan rumah ibadah.  

Ketua Umum Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma menguak hal itu dalam seri dialog Opsi Media TV bertajuk `Quo Vadis Toleransi Beragama? Pandangan Pemuda Lintas Agama` pada Senin, 19 September 2022 sore.

Berbicara sebagai salah satu narasumber, Stefanus mengatakan, sebenarnya pemerintah atau negara sudah melahirkan regulasi-regulasi agar setiap warga negara bisa beribadah lebih leluasa. 

Tetapi ada fakta-fakta yang terjadi, kemacetan di tengah-tengah pemerintah dan masyarakat. Sehingga pendirian dan pembangunan rumah ibadah menghadapi banyak kendala.

Stefanus mengambil data survei 2018 hingga 2021 dari Setara Institute. Sejumlah provinsi dan kota kabupaten yang berpotensi memang intoleran, hampir tidak bergerak atau itu-itu saja daerahnya. 

Seperti, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Ada juga tingkat kota kabupaten semisal Kota Cilegon, sebagai daerah yang berpotensi sangat intoleran, termasuk Depok.  

Stefanus mengingatkan tentang konsensus kebangsaan 77 tahun lalu yang sudah jelas bahwa Indonesia ini milik semua.

Konsensus itu tidak hanya disepakati oleh tokoh nasionalis saja, bahkan tokoh Muslim, dan tokoh pemuda semua bersepakat.

"Artinya mereka beranggapan Indonesia ini ada dari Sabang sampai Merauke, melintas agama berbagai macam etnis itu kan konsensus," katanya.

Dia lalu menyebut indikator intoleran beberapa daerah, misalkan soal peraturan-peraturan yang bernafaskan intoleran, simbol-simbol agama yang terlalu berlebihan dan faktor politik di mana setiap lima tahun sekali ada politik liberal, yakni meraup suara terbanyak.

"Maka kadang-kadang para politisi atau yang kemudian hari ini ada di dalam pimpinan-pimpinan daerah itu, selalu berpikir juga soal elektoral. Soal bagaimana dukungan massa, bagaimana dukungan kelompok dan lain sebagainya," tuturnya.

Kondisi itu pula menurut Stefanus, kadang-kadang membuat para pemimpin daerah, partai politik, Wali Kota Bupati, Gubernur, mempunyai pemikiran seperti kejadian di Kota Cilegon.

Baca juga:

Pernyataan Sikap Bersama Organisasi Kepemudaan Lintas Agama Soal Kebebasan Memeluk Agama dan Beribadah

Padahal kata dia, harus disepakati tidak ada minoritas dan tidak ada mayoritas. Ada sebuah daerah, katakanlah jumlah salah satu pemeluk agama itu mungkin lebih banyak. 

Inilah sebenarnya menurut Stefanus, kalau mau dilihat hasil survei, sebenarnya anak muda pun yang percaya Pancasila sebagai ideologi negara itu masih sangat tinggi sekali.

"Maka sebenarnya, kelompok-kelompok yang hari ini, melakukan sebuah gerakan-gerakan intoleran, melakukan pelarangan tempat ibadah agama apapun itu, sebenarnya kelompok yang kecil. Tetapi suaranya ini yang kemudian kerap kali menjadi ditakuti oleh para pimpinan-pimpinan daerah," ungkapnya.

"Standar ganda, bermain di tengah-tengah atau bahkan berpihak ke sebelah. Contoh kasus, seorang kepala daerah ikut menandatangani," imbuhnya.

Disebutnya, secara moderat kepala daerah itu sebetulnya fasilitator atau jembatan komunikasi.

Baca juga:

Gereja Ditolak di Cilegon, Chrisman Damanik: Jangan Biarkan Jadi Isu yang Membesar

Bahkan sebenarnya tidak boleh berdiri tengah. Kepala daerah itu punya sikap terhadap sebuah problem.

Semisal pendirian tempat ibadah, jika ada kesulitan untuk mendirikan. Dibantu selama masih sesuai dengan teknis dan aturan.

Secara prinsip kata dia, Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 Nomor 9 Tahun 2006 itu tidak disetujunya. Karena untuk mendirikan tempat ibadah masa harus diukur secara kuantitatif jumlah dukungan. 

"Tetapi minimal dengan adanya itu, ini sudah ada sebuah jembatan solusi untuk kemudian pada saat umat beragama ingin memiliki tempat ibadah," katanya.

Stefanus lantas membeber potret toleransi, bagaimana jarang sekali terdengar di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, atau Manado ada penolakan pendirian masjid atau rumah ibadah.

"Nah, kita harapkan semuanya menjadi demikian indah dan rukun. Ini kan persoalan orang ingin melaksanakan ibadah dan diatur secara konstitusi," katanya.

Menerusi dialog atau diskusi, Stefanus menyebut harus ada langkah-langkah advokasi yang bisa disuarakan.

Para pemuda lintas agama komit bahwa sebenarnya urusan yang seperti penolakan rumah ibadah, sudah tuntas. Pemuda sudah tidak lagi bicara sensitifitas hal-hal sifatnya agama itu. 

"Nah, itu sebenarnya harus dibangun. Tetapi mungkin ada unsur politis, ada unsur elektoral, ada unsur lain sebagainya yang membuat kepala daerah-kepala daerah, dari negarawan menjadi pemimpin yang ketakutan, kalau kemudian ada tempat ibadah yang kemudian tempat ibadah agama yang jumlahnya tidak mayoritas di situ akan didirikan," tukasnya.

Dari sisi Pemuda Katolik sendiri ujar Stefanus, sudah berkoordinasi dengan jaringan di Cilegon, ternyata sudah banyak upaya yang dilakukan pemuda lintas agama untuk berkomunikasi.

"Tapi kan sampai hari ini juga masih belum ada jalan keluar dan potensi itu sudah bisa terpotret. Jadi menurut saya, diskusi hal ini juga mengembangkan soal itu, sudah ada daerah-daerah yang potensi intoleran, ada provinsi-provinsi yang berpotensi, atau intoleran," tandas dia.[]

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya