Jakarta - Hakim yang mengadili kasus anak AGH (15), diadukan ke ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) pada Kamis, 25 Mei 2023.
Pengadunya adalah Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP).
Koalisi merupakan gabungan dari Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS).
Hakim diadukan adalah hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan hakim tunggal pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara dengan putusan tingkat pertama No. 4/Pid.Sus-Anak/2023/PN.JKT.SEL dan putusan tingkat banding No. 2/Pid.Sus.Anak/2023/PT.DKI.
Diadukan terkait pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dimaksud.
"Laporan pengaduan ini kami maksudkan untuk menjaga visi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga pengadilan kita," kata Erasmus AT Napitupulu selaku Koordinator Aliansi PKTA yang juga Direktur Eksekutif ICJR, Kamis, 25 Mei 2023 dalam rilis tertulis.
Menurut dia, menjaga marwah dan integritas hakim harus didasari atas etik dan perilaku yang tinggi.
Pihaknya berharap pengaduan jadi bagian koreksi dan tidak untuk menghakimi hakim.
"Harapan kami terpenting agar aduan ini bisa menjadi titik penting perhatian hakim dalam memeriksa kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak dan perempuan," tuturnya.
Disebutkan, hakim tunggal PN Jakarta Selatan tidak melakukan pemeriksaan secara berimbang, di mana hakim menolak untuk memutarkan video CCTV di ruang sidang.
Video CCTV tersebut memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh hakim dalam putusan.
Hakim juga tidak memutus berdasarkan fakta di persidangan, hakim memilih dan berperilaku sudah berposisi melihat terdakwa bersalah dengan “pemilihan” fakta oleh hakim tanpa melihat fakta di persidangan.
Hakim tidak melakukan pemeriksaan sesuai Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum terkait latar belakang seksual anak.
Hakim tidak mempertimbangkan fakta yang menunjukkan bahwa anak berhubungan seksual dengan orang dewasa sebanyak lima kali, hal yang merupakan perbuatan pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak dan UU TPKS.
Riwayat hubungan seksual yang harusnya merupakan perbuatan pidana malah digunakan hakim untuk menyatakan anak tidak memiliki trauma tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Kami menilai hakim tunggal tidak mempertimbangkan kerentanan posisi anak pelaku AG, dimana hubungan seksual AG dengan orang dewasa MDS harusnya menjadi bagian yang diperhatikan oleh hakim untuk melihat kerentanan anak dan melakukan pemeriksaan yang adil," tukasnya.
Ketiga kata Erasmus, hakim tidak memperhatikan laporan penelitian kemasyarakatan yang merupakan hal wajib dalam UU SPPA.
Putusan hakim diduga berdasarkan pada keinginan untuk menghukum anak, tidak untuk kepentingan terbaik anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA.
Keempat, yang merupakan salah satu pelanggaran paling berat, hakim tidak memberikan waktu yang cukup untuk pembelaan anak sebagaimana merupakan prinsip dasar dalam KUHAP dan UU SPPA.
Hakim tidak proporsional dan memberikan kesempatan pembuktian yang sama antara anak dengan jaksa.
BACA JUGA: Rekaman CCTV soal AGH yang Gak Dipertimbangkan Hakim Kasus Penganiayaan MDS terhadap David
"Berdasarkan data dari Kuasa Hukum AGH, hakim hanya memberikan waktu kepada PH untuk menghadirkan saksi dan ahli selama 2 jam 30 menit, tetapi memberikan PU waktu selama hampir dua hari kerja untuk menghadirkan saksi dan ahli," ungkapnya.
Lalu terhadap Hakim Tunggal PT DKI Jakarta, diungkap bahwa hakim tidak melakukan pemeriksaan yang cermat dan adil terhadap perkara anak.
Seluruh berkas persidangan Anak dari PN Jakarta Selatan dalam kasus aquo baru dikirimkan ke PT DKI Jakarta pada 26 April 2023 dan pada hari yang sama, Hakim Tunggal PT DKI Jakarta baru ditunjuk oleh PT DKI Jakarta.
Kurang dari 24 jam, yaitu pada 27 April 2023, Hakim Tunggal PT DKI Jakarta mengeluarkan putusan yang isinya memperkuat putusan tingkat pertama yang menghukum penjara anak.
"Bahwa waktu putus yang kurang dari 24 jam tersebut telah mengakibatkan putusan terburu-buru dan mengakibatkan putusan banding anak tidak memeriksa seluruh bukti, termasuk CCTV yang menunjukkan fakta berbeda antara putusan dengan alat bukti CCTV," terang Erasmus.
Berikutnya ujar dia, hakim tidak melakukan koreksi terhadap beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan.
Beberapa hal tersebut terkait pelanggaran Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, pembuktian dan pemeriksaan alat bukti yang tidak berimbang, sampai dengan perbuatan pidana berhubungan seksual dengan anak oleh orang dewasa yang seharusnya menjadi dasar kerentanan anak.
Hakim juga tidak memeriksa perkara berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana menjadi dasar dalam UU SPPA.
Hakim juga tidak mempertimbangkan secara cermat rekomendasi dari Litmas dalam kasus anak.
Berdasarkan fakta di atas, koalisi kata Erasmus, menduga bahwa hakim PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta dalam perkara aquo tidak mematuhi angka 1.1. ayat (1), angka 1.1. ayat (7), angka 1.1. ayat (8), angka 1.2. ayat (1), Angka 5.2.4, Angka 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim, tertanggal 8 April 2009.
"Kami meminta Komisi Yudisial dan Bawas MA untuk segera memeriksa kedua hakim tersebut," katanya.
Koalisi juga berharap KY dan Bawas MA memberikan perhatian pada kasus ini untuk memastikan terciptanya peradilan pidana yang agung.
Perbuatan kedua hakim yang diduga melanggar kode etik dan perilaku hakim ini dapat menjadi contoh buruk terhadap proses mengadili kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak perempuan AGH dalam kasus ini.
Dua Hakim
Hakim tunggal yang memeriksa perkara AGH di PN Jaksel adalah Sri Wahyuni Batubara.
Hakim Sri Wahyuni membacakan putusan perkara yang diperiksanya pada Senin, 10 Maret 2023, terkait penganiayaan David (17).
Hakim Sri Wahyuni menyatakan AGH bersalah turut serta melakukan melakukan penganiayaan terhadap David.
AGH dihukum pidana penjara selama 3,5 tahun di Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA).
AGH dalam kasus tersebut melanggar Pasal 355 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Sementara itu di PT DKI Jakarta, putusan PN Jaksel diperkuat oleh hakim tunggal Budi Hapsari dalam sidang putusan banding di Jakarta, Kamis, 27 Maret 2023.
AGH dihukum tiga tahun enam bulan tahanan terkait kasus penganiayaan yang dilakukan bersama tersangka anak mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu MDS (20). []