Tarutung - Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan menyerukan pemerintah, gereja dan masyarakat yang beriman untuk tidak tinggal diam dengan kejadian di Sihaporas, Kabupaten Simalungun.
PT Toba Pulp Lestari atau TPL tidak menepati omongan salah seorang direkturnya, Jandres Silalahi saat hadir dan berbicara di forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XIII DPR RI di Medan pada 3 Oktober 2025 lalu.
Bahwa TPL akan memulihkan jalan yang dilubangi di Sihaporas, guna memulihkan akses jalan warga Sihaporas dari pemukiman ke perladangan mereka pasca bentrok 22 September 2025.
Saat itu ephorus hadir bersama sejumlah undangan membahas dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh TPL di sekitar areal konsesi mereka, termasuk di Sihaporas.
Kepada seluruh anggota dan pimpinan Komisi XIII DPR RI, Jandres menyanggupi untuk memperbaiki jalan yang sudah dibuat lubang sedalam kurang lebih 7 meter di tiga lokasi.
Faktanya, hal itu tidak ditepati. Merespons itu, Sekretariat Bersama (Sekber) untuk Keadilan Ekologi di Sumatera Utara, di mana Ephorus HKBP salah seorang pembina, bersama masyarakat Sihaporas mengadakan aksi gotong royong pada 18 Oktober 2025.
Mereka memperbaiki lubang besar di jalan yang telah dirusak. Aksi ini dihadiri lebih dari 200 orang, masyarakat adat, para pendeta dari HKBP dan HKI, frater, suster, pastor Katolik, mahasiswa dan dosen dari STT HKBP Pematangsiantar, STT Abdi Sabda Medan dan IAKN Tarutung, serta organisasi masyarakat sipil seperti AMAN Tano Batak, KSPPM, dan Bakumsu.
Namun, pada malam hari setelah perbaikan dilakukan, pihak TPL kembali merusak jalan tersebut.
Lubang buatan PT TPL di Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara pada Minggu, 19 Oktober 2025. (Foto: Ist)
"Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran etika korporasi, tetapi penghinaan terhadap upaya kemanusiaan dan iman yang tulus. Dalam terang iman Kristen, tindakan demikian mencerminkan keserakahan yang menolak kasih dan keadilan Allah," kata Ephorus Pdt Victor dalam siaran persnya, Senin, 20 Oktober 2025.
Ephorus menegaskan bahwa bumi adalah milik Tuhan, bukan milik kekuasaan atau korporasi. Sebelum PT TPL beroperasi 1980-an, bahkan sebelum Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, masyarakat sudah hidup turun-temurun di wilayah-wilayah yang kini diklaim sebagai konsesi PT TPL.
Dengan demikian, tanah yang dirusak adalah tubuh ciptaan yang seharusnya dijaga; dan masyarakat yang tertindas adalah wajah Kristus yang tersakiti.
"Kami menyerukan kepada pemerintah, gereja-gereja, dan seluruh masyarakat beriman untuk tidak tinggal diam. Keadilan harus ditegakkan, janji harus ditepati, dan kehidupan harus dikembalikan ke tangan rakyat yang hidup dari bumi," tegasnya.
Secara khusus, pihaknya menyerukan agar pemerintah hadir untuk melindungi, menghormati, dan menghargai hak asasi manusia, serta tidak melakukan pembiaran dan pengabaian (by omission) penderitaan masyarakat kecil di tengah eksploitasi alam yang menguntungkan perusahaan (modal).
Menurut Ephorus Pdt Victor, Sihaporas hanyalah salah satu kasus yang sedang mendapat sorotan publik, di tengah banyaknya kasus serupa yang terjadi di Simalungun, Toba, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan lainnya, di mana PT TPL memperoleh konsesi 167.912 hektare.
Mengakhiri keterangannya, ephorus mengutip Injil Amos 5: 24: "Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir". []