Hukum Rabu, 10 Agustus 2022 | 15:08

Pidanakan Semua yang Menghalangi Pengusutan Kasus Pembunuhan Brigadir J

Lihat Foto Pidanakan Semua yang Menghalangi Pengusutan Kasus Pembunuhan Brigadir J Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu. (Foto: Dok Erasmus)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kepolisian terus mengembangkan kasus pembunuhan Brigadir Yosua atau Brigadir J setelah Kapolri Listyo Sigit mengumumkan empat tersangka pada Selasa, 9 Agustus 2022 malam.

Dalam keterangan konferensi pers didampingi tim khusus, Kapolri mengungkap sebanyak 56 personel Polri diperiksa. 

Sebanyak 31 orang diduga melanggar kode etik. Di antaranya, 11 personel telah dilakukan penahanan di Mako Brimob Polri. 

"Sejak awal proses penyidikan kasus ini telah kami serukan pengusutan terhadap dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan ketika diketahui ada upaya menghilangkan bukti rekaman CCTV," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu dalam keterangan tertulisnya diterima Opsi, Rabu, 10 Agustus 2022.

Eras menyebut contoh Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto, di mana awal kasus ini dibuka ke publik, sempat menyatakan bahwa kamera CCTV rumah Ferdy Sambo telah rusak dua minggu sebelum kejadian. 

Namun hingga saat ini masih belum jelas bagaimana kelanjutan proses pemeriksaan terhadap Kapolres Jaksel tersebut.

Baca juga:

Ferdy Sambo Jadi Tersangka Pembunuhan Brigadir J, RMI: Kapolri Penuhi Harapan Publik

Di samping proses penyidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir J, pihaknya kata Eras, kembali menyerukan bahwa proses penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh para anggota Polri juga harus berjalan. 

"Tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, namun proses pidana terhadap semua pelaku juga tetap harus ditempuh," tegas dia.

Baca juga:

Pengakuan Mengejutkan dari Pengacara Bharada E, Burhanuddin: Kami Diminta Mundur

Pasal 221 KUHP sebut Eras, telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti dengan maksud supaya tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penegakan hukum. 

Bahkan, hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum tersebut seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil, sebab aparat tersebut diberi kewenangan besar yang kemudian disalahgunakan. 

"Kasus ini akan menjadi salah satu uji coba terkait penggunaan Pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice bagi pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum," katanya. 

Meski ke depannya ujar Eras, ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat, khususnya dalam upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir saat ini. []

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya