Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru pada 26 Juni 2025 telah membuka jalan bagi perubahan mendasar dalam sistem pemilu kita, yakni dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal dalam dua siklus waktu yang berbeda.
Pemilu nasional mencakup Pemilihan Presiden, DPR RI, dan DPD RI akan tetap digelar pada tahun 2029, sementara pemilu lokal yang mencakup Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota akan diselenggarakan pada tahun 2031.
Putusan MK tersebut juga menimbulkan persoalan konstitusional yang serius. Pasalnya, anggota DPRD hasil Pemilu 2024 seharusnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2029, sesuai amanat Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPRD dipilih dalam pemilu setiap lima tahun.
Tapi karena Pemilu DPRD berikutnya baru akan digelar tahun 2031, sesuai putusan MK, maka secara otomatis masa jabatan mereka diperpanjang hingga 7,5 tahun, lebih dari dua tahun setengah dari masa jabatan yang sah secara konstitusi.
Maka muncul persoalan mendasar, bagaimana mungkin masa jabatan anggota DPRD diperpanjang hingga 2031, sementara konstitusi hanya mengatur 5 tahun?
"Dalam konteks tersebut, saya kira, penting bagi publik dan para pembuat kebijakan untuk memahami bahwa putusan MK dimaksudkan sebagai bagian dari reformasi sistemik pemilu, bukan sekadar penyesuaian teknis," kata Jeirry Sumampow dari Koordinator Komite Pemilih Indonesia, dalam rilis resmi, Jumat, 27 Juni 2025.
Menurut dia, tujuan utamanya adalah mewujudkan tata kelola pemilu yang lebih tertib dan efisien; mengurangi beban berlebih bagi penyelenggara dan pemilih dalam; meningkatkan ruang kompetisi politik yang lebih adil dan berimbang; dan memperkuat partisipasi politik masyarakat secara lebih bermakna.
Meski mengandung persoalan konstitusional serius, namun putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga ada keharusan untuk diimplementasikan.
Karena itu kata dia, pertanyaannya adalah bagaimana skema atau formula yang bisa ditawarkan agar implementasinya tetap konstitusional? Atau paling tidak kewibawaan konstitusi masih bisa tetap terjaga.
BACA JUGA: Putusan MK: Tak Ada Lagi Pemilu Serentak, Ini Aturannya
Untuk menjaga agar transisi ini tetap berada dalam koridor konstitusional dan demokratis serta tidak menjadi preseden buruk ke depan, pihaknya menawarkan beberapa formula atau skenario.
Pertama, masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024 dapat diperpanjang secara khusus hingga 2031 hanya untuk satu kali periode, sebagai bagian dari penyesuaian menuju jadwal Pemilu Lokal Serentak.
Namun perpanjangan dalam kerangka ini tentu harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu diatur secara eksplisit dalam undang-undang; ditegaskan sebagai transisi sistemik, bukan norma baru; dan tidak dijadikan preseden permanen.
Kedua, jika ketegangan konstitusional ini ingin diakhiri secara tuntas, maka dapat ditempuh dengan cara amandemen terbatas terhadap Pasal 18 UUD 1945 untuk memberi ruang pengecualian dalam masa transisi sistem pemilu; atau penegasan melalui tafsir lanjutan MK bahwa ketentuan masa jabatan dalam Pasal 18 dapat dilenturkan untuk satu kali transisi sistemik.
Ketiga, perpanjangan atau pemendekan masa jabatan tanpa pemilu harus dijaga ketat dalam kerangka legitimasi rakyat. Karena itu, seluruh proses transisi ini harus dilandasi oleh undang-undang yang jelas; melibatkan partisipasi publik yang luas; dan menghindari kesan bahwa perubahan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Disebutnya, dengan desain baru pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal yang dijadwalkan pada 2029 dan 2031, Indonesia memasuki fase penting dalam menata ulang sistem kepemiluan yang lebih efisien dan demokratis.
Namun, keberhasilan desain ini bergantung pada komitmen semua pihak untuk menjaga konstitusionalitas, menghormati prinsip kedaulatan rakyat, dan menghindari tafsir hukum yang oportunistik.
"Oleh karena itu, kami mendorong agar setiap langkah transisi dilakukan secara terbuka, legal, dan akuntabel agar reformasi pemilu tidak justru menggerus legitimasi demokrasi itu sendiri," tandasnya. []