Hukum Rabu, 02 Maret 2022 | 16:03

Hakim Ad Hoc Tipikor Tak Bebas dari Praktik Korupsi

Lihat Foto Hakim Ad Hoc Tipikor Tak Bebas dari Praktik Korupsi Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Kehadiran hakim ad hoc tindak pidana korupsi atau tipikor semula diharapkan dapat memutus mata rantai dalam judicial corruption.

Namun ternyata seiring berjalannya waktu, hakim ad hoc juga tidak terbebas dari praktik korupsi.

Demikian pandangan Zaenur Rohman dari Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM saat berbicara dalam diskusi publik "Mencari Sosok Hakim Adhoc Tipikor Berintegritas" yang digelar Transparency International Indonesia pada Rabu, 2 Maret 2022.

Zaenur menyampaikan, latar belakang dari pembentukan pengadilan tipikor adalah judicial corruption.

Pengadilan konvensional, baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi, semuanya pada waktu itu dianggap dilingkupi oleh praktik korupsi dalam peradilan, yaitu judicial corruption, dan dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan.

Sehingga dibuatlah satu sistem baru, yaitu pengadilan tipikor yang di dalamnya mengandung sedikit perbedaan, yaitu adanya hakim ad hoc, dan perbedaan dari segi waktu persidangan dan penuntasan perkara.

Adanya hakim ad hoc di luar Mahkamah Agung yang mengisi pengadilan tipikor ini juga dilandaskan ketidakpercayaan terhadap hakim yang berasal dari Mahkamah Agung.

Baca juga: Harusnya Indonesia Punya Lebih dari 500 Pengadilan Tipikor

"Hakim ad hoc dalam pengadilan tipikor juga diharapkan dapat memutus mata rantai dalam judicial corruption. Namun ternyata seiring berjalannya waktu, hakim ad hoc juga tidak terbebas dari praktik korupsi," tukas Zaenur.

Zaenur menambahkan, menurut data dari Mahkamah Agung, hakim karier yang tersertifikasi tipikor jumlahnya sudah lebih dari 40 persen. 

Dan mereka tidak hanya tersedia di ibu kota provinsi, mereka juga banyak tersebar di kabupaten dan kota.

Sehingga seharusnya menurut dia, bisa untuk dijadikan sebagai "hakim terbang" yang ditugaskan untuk mengadili perkara yang terdekat dengan terjadinya korupsi. 

"Namun diperlukan dasar hukum untuk mengaturnya. Tetapi jika bisa diterapkan maka akan lebih efektif dan hemat biaya," katanya.

Zaenur kemudian menyoal problem pengawasan secara sistemik yang belum terselesaikan, juga menjadi salah satu alasan mengapa korupsi di peradilan masih banyak terjadi. 

Dalam catatan, sejumlah hakim ad hoc tipikor yang pernah ditangkap, tersebut di antaranya Merry Purba, hakim ad hoc tipikor Pengadilan Negeri Medan.

Merry terjaring operasi tangkap tangan atau OTT KPK pada Selasa, 28 Agustus 2018. Diduga menerima total 280.000 dollar Singapura terkait putusan untuk terdakwa Tamin Sukardi.

Kartini Marpaung, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang. Kartini diduga menerima suap Rp 150 juta terkait kasus dugaan korupsi biaya perawatan mobil dinas Kabupaten Grobogan yang melibatkan Ketua DPRD Kabupaten Grobogan nonaktif, M Yaeni. 

Asmadinata, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Palu. Dia dinilai telah melakukan pelanggaran berat atas perbuatan tercela menerima suap.

Ramlan Comel, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung. Diduga terlibat suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung. []

 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya