News Kamis, 11 September 2025 | 17:09

JK Buka-bukaan di DPR: Inilah Biang Kerok Konflik Aceh Selama 30 Tahun

Lihat Foto JK Buka-bukaan di DPR: Inilah Biang Kerok Konflik Aceh Selama 30 Tahun Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK). (Istimewa)

Jakarta - Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tampil di gedung DPR, Kamis, 11 September 2025, dengan membawa analisis tajam tentang sejarah konflik Indonesia.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR yang membahas revisi UU Pemerintahan Aceh, politisi senior ini mengungkap fakta mengejutkan tentang 15 konflik besar yang pernah mengguncang Nusantara.

"Saya juga ingin menyampaikan bahwa 15 konflik besar di Indonesia," kata JK membuka presentasinya yang menarik perhatian para anggota dewan.

JK merinci deretan konflik yang mencoreng sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Mulai dari pemberontakan Madiun di tahun 1948, gelombang DI/TII yang melanda Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan sepanjang 1949-1962, hingga pemberontakan RMS di Ambon tahun 1950.

Daftar hitam itu berlanjut dengan PRRI/Permesta (1957-1961), Gerakan Aceh Merdeka yang berkecamuk selama hampir tiga dekade (1976-2005), dan puncaknya kerusuhan Mei 1998 yang menandai berakhirnya era Orde Baru.

Namun diagnosa JK tentang akar masalah ini yang mencuri perhatian: ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi menjadi pemicu utama hampir semua konflik tersebut.

Dengan pengalaman sebagai mediator konflik, JK membedah perbedaan mendasar antara konflik di Poso dan Aceh. Konflik Poso, menurutnya, lebih bermuara pada ketidakadilan politik yang kemudian dibungkus isu agama.

"Kemudian di Poso, karena ketidakadilan politik, orang mengatakan agama, ketidakadilan politik. Karena masyarakat yang, karena reformasi maka mulai diadakan pemilihan langsung. Hasilnya tentu sesuai mayoritas," jelasnya dengan gamblang.

JK melontarkan kritik pedas terhadap pengelolaan sumber daya alam Aceh selama ini. Provinsi yang kaya gas dan minyak bumi ini ternyata tidak memberikan kesejahteraan yang layak bagi rakyatnya.

"Tapi, apa yang diperoleh masyarakat Aceh, kecil, dibanding dengan kekayaan yang ada. Maka, terjadilah suatu pikiran yang berakhir dengan konflik negara. Jadi semuanya Aceh itu ketidakadilan ekonomi. Intinya," tegasnya tanpa basa-basi.

Pernyataan ini menohok keras, mengingat selama puluhan tahun Aceh menjadi penghasil devisa negara dari sektor migas, namun masyarakat lokal justru hidup dalam kemiskinan.

Kehadiran JK dalam RDPU ini bukan tanpa alasan. Revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang masuk Prolegnas Prioritas 2025 mencakup poin-poin krusial: penegasan kewenangan Aceh, evaluasi Qanun APBA, sistem pajak daerah, hingga pengelolaan sumber daya alam termasuk karbon.

Analisis JK memberikan landasan historis mengapa revisi ini menjadi urgent. Tanpa keadilan ekonomi yang nyata, potensi konflik serupa bisa saja terulang di masa depan.

Testimoni mantan Wakil Presiden yang pernah memediasi perdamaian Aceh ini menjadi reminder penting bagi para legislator: bahwa di balik setiap konflik, ada ketidakadilan yang harus diselesaikan secara struktural, bukan sekadar simptomatik.[] 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya