Pilihan Kamis, 15 Desember 2022 | 21:12

Opini: HAM, Mediasi dan Restorative Justice

Lihat Foto Opini: HAM, Mediasi dan Restorative Justice Wahyu Pratama Tamba. (Foto: Dok. Pribadi)
Editor: Tigor Munte

Oleh: Wahyu Pratama Tamba*

Kurang lebih hampir dua tahun terakhir, Kepolisian kerap menangani perkara tindak pidana melalui pendekatan restorative justice

Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 yang terbit pada 19 Agustus 2021 tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif, dua hal pokok pertimbangan hadirnya Perkapolri ini.

Pertama, menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan. 

Kedua, merupakan konsep baru dalam penegakan hukum pidana yang mengakomodir norma dan nilai di dalam masyarakat sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat.  

Tonny F. Marshall mengemukakan tentang restorative justice, diartikan sebagai sebuah proses di mana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu untuk menyelesaikan secara bersama-sama, bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. (Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, 2010, USU Press, Medan, hal. 28). 

Mediasi dan Perdamaian melalui Restorative Justice

Tiga kasus dalam kurun waktu satu bulan terakhir menggambarkan kondisi faktual penanganan kasus tindak pidana oleh Kepolisian melalui pendekatan restorative justice. 

Pertama, penanganan perkara penganiayaan yang dilakukan seorang pria inisial DP (25) terhadap seorang petugas SPBU di Tangerang pada Sabtu, 28 November 2022 dihentikan oleh penyidik Polres Tangerang setelah adanya kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku. 

Kapolres Metro Tangerang Kota Kombes Pol. Zain Dwi Nugroho menyebut, kedua belah pihak didampingi keluarganya masing-masing sepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dan berdamai, korban juga tidak menuntut dan melanjutkan perkara tersebut. 

"Kedua belah pihak pun menyatakan sepakat berdamai, tidak meneruskan kejadian tersebut. Artinya saling memaafkan dan ingin di-restorative justice," kata Zain dilansir dari salah satu media nasional.

Kedua, kasus penganiayaan yang dilakukan Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda (Kadispora) Papua Barat Hans Lodwick Mandacan terhadap tiga orang korban tidak berlanjut ke tahap penyidikan karena pelaku dan ketiga korban sepakat berdamai. 

Sebelumnya pelaku telah ditetapkan tersangka pada Selasa, 8 November 2022 oleh penyidik Polres Manokwari. 

Kapolres Manokwari AKBP Parisian Herman Gultom menegaskan pihaknya mengundang kedua pihak yang terlibat untuk kepentingan penyelesaian perkara di luar pengadilan atau restorative justice, upaya penyelesaian tanpa adanya tekanan. 

"Setelah ditanyakan kembali, seluruh pihak baik korban maupun pelaku memang ingin dimediasi untuk damai tanpa ada tekanan," kata Herman dalam salah satu media pada 23 November 2022.

Ketiga, penanganan kasus penganiayaan yang dilakukan dua orang petugas Satpam Stasiun Duri terhadap seorang pemuda disabilitas berusia 21 tahun oleh penyidik Polsek Tambora telah dihentikan, setelah adanya mediasi dan kesepakatan perdamaian kedua pihak pada Senin, 14 November 2022.

Kedua pelaku menganiaya korban karena tindakan korban membakar sampah di pinggir rel kereta api, kemudian pelaku menginterogasi korban disertai beberapa tindakan kekerasan ke bagian tubuh korban. 

Kapolsek Tambora Kompol Putra Pratama menyebut pelaku sempat menginterogasi korban, namun merasa korban menjawabnya dengan bertele-tele, pelaku kemudian melakukan kekerasan. 

Baca juga: Komjen Pol Agus Andrianto: Restorative Justice Prioritas Polri Selesaikan Perkara

"Saat diinterogasi, punggung, lengan, dan paha kanan korban dipukul menggunakan selang air dan sarung samurai (katana),” terang Kompol Putra sebagaimana dipetik dari Kompas.com pada 15 November 2022. 

Tampak dari cuplikan penanganan tiga kasus tersebut, Kepolisian selaku aparat penegak hukum juga menjalankan peran sebagai mediator. 

Penyidik mempertemukan kedua pihak yang terkait perkara, yakni pelaku dan korban untuk adanya kesepakatan perdamaian. 

Sebelum mencapai kesepakatan pelaku harus mengakui terlebih dahulu kesalahannya, lalu menyampaikan permohonan maaf kepada korban, setelah itu kedua pihak berunding untuk satu titik temu kesepakatan. 

Lebih lanjut, pelibatan keluarga setiap pihak dan tokoh masyarakat di dalam pertemuan juga dimungkinkan di dalam perundingan mediasi. 

Dengan demikian, pola restorative justice ditunjukkan dengan adanya pertemuan mediasi, permohonan maaf pelaku, kesepakatan perdamaian kedua pihak, pendampingan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat, pencabutan laporan kemudian penyidik menghentikan penanganan perkara.

Pemenuhan HAM Korban

Howard Zehr dan Ali Gohar menjelaskan lima prinsip di dalam pelaksanaan restorative justice.

Pertama, fokus terhadap kerugian dan kebutuhan korban, juga pelaku dan masyarakat. 

Kedua, adanya peran dari pelaku/pelanggar, korban, dan masyarakat untuk mengatasi kewajiban yang diakibatkan oleh suatu kerugian. 

Ketiga, menggunakan proses kolaborasi yang inklusif. 

Keempat, melibatkan mereka yang memiliki kepentingan sah dalam situasi tersebut, baik itu korban dan pelaku, juga keluarga dan anggota masyarakat. 

Kelima, berusaha untuk memperbaiki kesalahan. (2003, The Little Book of Restorative Justice).

Merujuk pada penjelasan tersebut, dengan demikian restorative justice tidak saja fokus pada kerugian yang dialami korban dan pertanggungjawaban pelaku, serta pihaknya tidak sebatas pada pelaku dan korban namun melibatkan keluarga dan masyarakat. 

Untuk memulihkan kerugian, pihak korban pelaku, keluarga, dan masyarakat secara bersama-sama bertemu untuk menemukan solusinya.

Baca juga: Jaksa Agung: Restorative Justice Alternatif Selesaikan Perkara Pidana

Dari tiga cuplikan kasus di atas, kecenderungan korban adalah perempuan dan pemuda disabilitas. Restorative justice yang tujuannya untuk pemulihan kerugian korban dan pemenuhan keadilan korban semakin bias. 

Meskipun disebut oleh pihak Kepolisian bahwa terhadap penanganan kasus telah terlaksana mediasi, adanya kesepakatan, dan tidak ada unsur paksaan, mediasi yang dijalankan Kepolisian bersifat otoritatif. 

Alasannya karena Kepolisian sebagai mediator dalam pertemuan mediasi memiliki hubungan otoritas dengan para pihak yang terlibat konflik/kasus pidana. 

Mediasi yang dilaksanakan tentu bernuansa penegakan hukum, Kepolisian dan pelaku tindak pidana paling berkepentingan untuk penghentian kasus. 

Bagi pelaku, lepas dari jerat hukum, bagi penyidik tidak menambah beban penanganan perkara. 

Situasi mediasi yang dihadapi korban diyakini penulis tidak menguntungkan buat korban, bahkan potensial pada situasi tertekan dan intimidatif. 

Korban adalah satu-satunya pihak yang dirugikan dari tindakan pidana pelaku kemudian dalam waktu segera harus dihadapkan pada situasi dan satu forum pertemuan bersama pelaku, penyidik Kepolisian, keluarga kedua pihak, dan bisa juga dihadirkan tokoh masyarakat. 

Mediasi dalam konsep restorative justice ini tidak berangkat dari perspektif korban, namun berangkat dari inisiasi Kepolisian untuk meredam situasi dan menyelesaikannya di luar proses hukum. 

Catatan kritis untuk pelaksanaan restorative justice Kepolisian, idealnya perbuatan pidana penganiayaan, kekerasan dan penyiksaan tidak diselesaikan lewat restorative justice. 

Kekerasan fisik tidak saja berdampak pada luka fisik, namun juga menyerang psikologis korban dan penanganan hingga penyelesaiannya pun harus memperhatikan kondisi aktual psikologis korban. 

Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan umum meliputi materiil dan formil. Salah satu syarat materiil disebut di dalam Pasal 5 huruf (a) Perkapolri No.8 Tahun 2021 tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat. 

Kepolisian harus memiliki kepekaan terhadap setiap peristiwa viral dan/atau menghebohkan publik.

Viralnya tindakan/peristiwa pidana itu sendiri telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, untuk itu penanganan perkara pidananya harus mampu memberikan kesejukan dan tidak kontradiktif dengan tujuan restorative justice. 

Selain pentingnya kepekaan penyidik terhadap kepentingan korban berikut psikologisnya, hal-hal lain juga perlu diperhatikan, terutama konstruksi relasi dan latar belakang para pihak meliputi relasi pelaku dan korban, relasi kuasa di dalam ikatan pekerjaan, dan relasi kedudukan penyidik terhadap kedua pihak selaku aparat penegakan hukum. 

Proses hukum untuk kasus kekerasan dan kasus menyita perhatian publik hendaknya tetap berlangsung hingga ke pengadilan, meskipun perdamaian telah dicapai saat mediasi. 

Proses hukum yang telah berjalan di Kepolisian tentu bisa digunakan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim untuk mengadili perkara dan menjatuhkan apapun vonis kepada pelaku. 

Untuk itu, bagi penyidik Kepolisian perlu kembali menguatkan pemahaman konsep dan praktik restorative justice yang berperspektif korban, terutama untuk kepentingan pemulihan dan pemenuhan keadilan korban. []

*Fungsional Komnas HAM RI

Penata Mediasi Sengketa HAM Ahli Muda



Berita Terkait

Berita terbaru lainnya