News Rabu, 30 Maret 2022 | 13:03

Pembahasan RUU TPKS, ICJR Tegaskan Restitusi adalah Hak Korban Pidana

Lihat Foto Pembahasan RUU TPKS, ICJR Tegaskan Restitusi adalah Hak Korban Pidana Peneliti ICJR Maidina Rahmawati. (Foto: Ist)
Editor: Tigor Munte

Jakarta - Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) DPR RI kembali membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mulai Selasa - Rabu, 29 - 30 Maret 2022.

Pembahasan telah sampai pada pengaturan jenis-jenis tindak pidana serta pemberatan tindak pidana. 

Perdebatan yang muncul dalam dua kali pembahasan tersebut adalah mengenai bagaimana memformulasikan pelecehan seksual non fisik, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), eksploitasi seksual serta perdebatan apakah aborsi sebagai bentuk kekerasan seksual. 

"Hari ini, 30 Maret 2022, pembahasan akan kembali dilakukan dengan beranjak pada bahasan tentang hukum acara pidana dan pengaturan hak korban dalam RUU TPKS," kata Maidina Rahmawati selaku Peneliti ICJR dalam rilisnya diterima Opsi.

ICJR kata dia, mengapresiasi RUU versi Baleg dan DIM Pemerintah yang berusaha keras memasukkan banyak pembaruan hukum dalam konteks hukum acara dan penguatan hak korban dalam draft RUU TPKS. 

Namun, beberapa penguatan yang perlu dilakukan dalam pembahasan RUU TPKS menurut ICJR, yaitu pertama, pengaturan restitusi

Baca juga: Minta RUU TPKS Diperjelas, Baleg: Jangan Perkara Canda Jadi Saling Lapor

RUU Baleg dalam Pasal 11 menjelaskan bahwa restitusi sebagai pidana tambahan, sedangkan Pasal 14 DIM Pemerintah menyatakan restitusi sebagai kewajiban yang perlu ditetapkan hakim untuk tindak pidana yang diancam 5 tahun atau lebih. 

Kedua draft tersebut kata Maidina, harus dikoreksi. Restitusi sebagai ganti kerugian kepada korban bukan merupakan pidana tambahan dan juga tidak dapat dibatasi berdasarkan ancaman pidana. 

Baca juga: DPR: Dengan RUU TPKS, Indonesia Dianggap Progresif Terhadap Perlindungan Perempuan

"Restitusi harus diberikan peluang untuk diberikan pada semua jenis tindak pidana kekerasan seksual, tidak bergantung pada ancaman pidananya," tegasnya. 

Restitusi juga bukan sebagai bentuk pidana pokok atau pidana tambahan, namun adalah hak korban dan respons terhadap adanya kerugian korban.

Jika diatur sebagai pidana tambahan, maka akan berbenturan dengan ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang adanya pidana tambahan jika pidana seumur hidup atau pidana maksimal lain diberlakukan.

"Hal yang menjadi masalah dalam putusan HW di PN Bandung, sehingga hakim membebankan restitusi ke Kementerian PPPA. Maka, restitusi harus diatur sebagai bagian hak korban, bukan pidana," terangnya.  

Hal lain yang teramat penting kata dia, adalah dalam konteks mekanisme juga diatur kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk menginformasikan hak restitusi pada korban. Serta tidak dapat dibatasi dengan ancaman pidana. [] 

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya