Jakarta - Politisi Senayan 2004-2014, Fahri Hamzah mengingatkan bangsa Indonesia soal suksesi kepemimpinan. Eks pentolan PKS itu berharap bahwa pergantian pemimpin tidak harus melalui cara-cara tidak baik, semisal kudeta dan upaya paksa lainnya.
Fahri menuliskan buah pikirannya itu di Twitter, Kamis, 3 Maret 2022. Merespons wara-wiri seputar perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 yang terus menuai pro kontra.
"Kita harus mulai jujur untuk mengatakan hal-hal yang oleh sejarah diulang secara memilukan. Dan di antara yang memilukan dalam sejarah kita adalah bagaimana pemimpin berakhir dengan tidak baik, dikudeta, diturunkan di tengah jalan, didemonstrasi, bahkan dihapus namanya dalam sejarah, dll," tulis Fahri.
Dia mengatakan, semua itu pasti ada sebab-sebabnya yang bisa dipelajari. Semua itu pasti bisa dihindari. Maka ikhtiar bangsa Indonesia tulis dia, membangun negara demokrasi yang berdasarkan pada hukum dan konstitusi adalah dalam rangka menghindari hal-hal yang pahit dalam sejarah.
"Itulah yang harus kita pelajari," sebutnya.
Waketum Partai Gelora Indonesia itu kemudian menyebut, bahwa tidak perlu berbicara jauh ke masa-masa prakemerdekaan, tentang pemimpin kerajaan-kerajaan daerah yang memang sistemnya memungkinkan ketidakpastian jadwal suksesi terjadi.
Baca juga: Saran ke Presiden Jokowi untuk Klarifikasi soal Penundaan Pemilu
Sehingga kekuasaan kadang harus sering berakhir dengan kudeta berdarah dan penakluk keluar sebagai pemimpin negara.
"Tetapi yang kita bicarakan sekarang adalah tradisi pascarepublik. Mudah kita analisa karena jumlah presiden yang kita miliki belumlah terlalu banyak. Tetapi, presiden yang kita miliki dan tidak terlalu banyak tersebut pun hampir semua harus berakhir secara tragis dan memilukan,` imbuh dia.
Maka, pelajaran ini menurutnya harus diingat dan harus dijaga. Presiden kita sepanjang sejarah masa depan, termasuk presiden yang sekarang, Jokowi supaya berakhir dengan baik.
"Saya bukan pemilih dan pendukung beliau, tapi saya tidak mau ada lagi ada presiden yang berakhir dengan cidera," tandasnya.
Sebab cara berakhirnya seorang presiden menurut aktivis era reformasi itu, sangat menentukan perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Seorang presiden yang berakhir karena dikudeta biasanya menciptakan kudeta selanjutnya.
Setiap presiden yang berakhir pilu menciptakan dendam bagi generasi pendukungnya di masa selanjutnya.
"Sesungguhnya ini bukan kata saya, ini adalah pelajaran dari sejarah umat manusia tidak saja di Indonesia tapi di mana-mana. Dan kita bersyukur sekarang Indonesia telah menjadi negara yang memiliki jadwal politik yang pasti, tidak ada misteri tentang jadwal seorang presiden diganti," terangnya lagi.
Baca juga: Muncul Petisi Tolak Penundaan Pemilu 2024
Dalam demokrasi kata Fahri, jadwal pergantian pimpinan adalah ritual yang pasti. Karena dalam demokrasi tidak percaya lagi bahwa ada orang yang tak tergantikan. Dalam demokrasi semua pemimpin atau seluruh orang dianggap sama karena yang penting adalah sistemnya bukan orangnya.
"Kita tidak boleh lagi mendewakan pemimpin. Mereka manusia biasa seperti kita. Sekali lagi, mengganti pemimpin bukan bencana. KPU dan DPR menyepakati 14 Februari 2024 kita pemilu. semuanya sudah berlangsung baik terutama dalam dua pemilihan presiden langsung yang terakhir," jelasnya.
"Stop permainan ini, jangan coba-coba mencoreng wajah ibu pertiwi dengan permainan konyol ini. Jangan rusak apa yang sudah kita perjuangkan dengan susah payah dan kita jaga setiap hari. Jangan bermain api nanti terbakar sendiri. Sejarah pemimpin kita penuh onak dan duri," tandasnya. []