Medan - Menghargai dan peduli mengelola tambang harus tunduk terhadap mekanisme pengelolaan yang benar dan sesuai standar keamanan berbasiskan lingkungan.
Faktanya keberadaan tambang bukan membawa berkah positif bagi masyarakat di sekitar perusahaan dan pemerintah.
Tetapi memicu konflik, baik secara vertikal maupun horizontal. Lihatlah kasus di Wadas, Wawonii, Kendeng, Madina, Dairi dan lainnya.
Keberadaan tambang menjadi monster yang menakutkan jika dieksploitasi. Demikian bagian inti sari dari webinar memperingati 16 Tahun Hari Anti Tambang yang jatuh pada 29 Mei.
Kegiatan ini difasilitasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), Petrasa dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Dengan topik, "Kilas Balik Kejahatan Tambang di Indonesia: Tambang untuk Siapa?” Webinar digelar Rabu, 25 Mei 2022 di aula pertemuan Pesada Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara.
Disebutkan kemudian, pemerintah sering sekali menempatkan sektor penambangan sebagai proyek kepentingan umum dan pembangunan untuk meningkatkan perekonomian.
Baca juga:
Warga Dairi Syukuran Hasil Pertanian dan Ikrar Tolak Tambang PT DPM
Bermakna untuk memenuhi kebutuhan, meningkatkan kesejahteraan, bersifat pelayanan publik, dan tidak untuk mencari laba.
Tapi dalam dalam implementasinya penetapan sebuah pembangunan lewat sektor penambangan sering kurang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dari masyarakat dan lebih mengutamakan dunia usaha dan politik.
Testimoni
Narasumber dari beberapa masyarakat korban tambang di berbagai wilayah Tanah Air dihadirkan, seperti dari Wawonii, Wadas, Kendeng, Mandailing Natal, dan Dairi.
Semua kesaksian dari warga terdampak menyampaikan bahwa tidak adanya keterbukaan informasi terkait penambangan di awal.
Pihak perusahaan melakukan politik pecah belah masyarakat yang pro, dikarenakan sudah ada iming-iming dari pihak perusahaan, hak veto warga dihilangkan, dan kerap sekali pemerintah masa bodoh terhadap perjuangan rakyat.
Peserta webinar pada Rabu, 25 Mei 2022 di aula pertemuan Pesada Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. (Foto: Ist)
Ini menjadikan rakyat tidak bisa berharap banyak dari pemerintah untuk memberikan solusi bagi dampak maupun risiko yang ditimbulkan akibat kehadiran tambang.
Salah satunya warga Kendeng yang menunjukkan secara online daerah yang mereka tempati dimana 20 tahun yang lalu merupakan hamparan sawah.
Namun sekarang menjadi tambak dan ini disebabkan dari adanya penambangan semen yang membuat daerah penangkapan air menjadi hilang.
Melky Nahar, salah satu penanggap dari Jatam mengatakan, ketika tanah diserahkan ke perusahaan, pada saat yang sama kita sesungguhnya secara sadar menghilangkan kedaulatan kita sebagai rakyat atas tanah.
“Jangan bangga dari petani menjadi buruh tambang,” katanya.
Hal ini sebenarnya kata dia, tidak pernah dihitung dan diwacanakan kepada masyarakat bagaimana potensi kerugian yang besar, risiko yang mengorbankan lingkungan, dan masyarakat.
Tambang vs Perempuan
Saur Tumiur Situmorang selaku penanggap yang merupakan mantan Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, tambang sering sekali menimbulkan hal-hal baru terkhusus pada perempuan.
Baik itu gangguan kesehatan reproduksi, peningkatan kekerasan terhadap perempuan, perempuan kehilangan ruang kelola, penyakit kulit, serta alih profesi.
Saur merekomendasikan kepada masyarakat, khususnya perempuan mulai bersuara untuk terlibat dalam perundingan dan pembangunan.
Mendesak pemerintah atau negara untuk mengakui kepemilikan warga, memperluas jaringan, dan mengorganisir warga agar tidak mudah dipecah belah serta fokus pada sasaran utama untuk perlawanan.
Baca juga:
Polisi Disebut Lebih Amankan Investasi Ketimbang Petani Wawonii Sulteng
"Tak perlu masyarakat merasa takut. Karena sesungguhnya kita dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 33, UU HAM, konvensi penghapusan diskriminatif terhadap perempuan, dan perlindungan ekosob," katanya.
Di samping itu kerap sekali pemerintah mengatakan penambangan adalah salah satu pembangunan yang menunjang proyek strategis nasional untuk kepentingan umum.
Padahal kepentingan umum itu kata dia, harus berasaskan beberapa prinsip, yaitu mensejahterakan masyarakat, meningkatkan pendapatan ekonomi daerah, dan tidak untuk mencari laba.
Namun ini sangat berbanding terbalik dimana industri penambangan mencari keuntungan yang diperoleh oleh segelintir orang dan bukan untuk kesejahteraan rakyat dan justru menimbulkan daya rusak atas lingkungan.
Hal yang perlu dilakukan bersama oleh warga menurut Saur, adalah bagaimana masyarakat secara bersama mempersempit perluasan ekstraktif itu sendiri. Karena terlalu banyak risiko dan biaya yang dikorbankan dari industri ekstraktif.
Monica Siregar selaku Koordinator Pengorganisasian dari YDPK menegaskan bahwa dengan adanya webinar ini masyarakat semakin terbekali akan hal penting yang ditimbulkan dari dampak tambang.
"Lewat webinar ini pula warga Dairi yang saat ini sedang dalam perjuangan menolak kehadiran tambang PT DPM, bisa menjalin solidaritas dengan desa atau daerah lain yang juga berjuang melawan kehadiran perusahaan ekstraktif," ujarnya. []